Langsung ke konten utama

Seminar Hasil: Pengaruh Status Aktivasi Ovarium Terhadap Tingkat Kematangan dan Fertilisasi Invitro Oosit Sapi Bali

Transfer embrio merupakan bioteknologi yang mulai banyak diterapkan di Indonesia untuk beberapa spesies tertentu. Penetapan transfer embrio membutuhkan embrio dalam jumlah banyak yang dapat dipenuhi dari embrio hasin in vitro. Produksi embrio in vitro (PEIV) adalah salah satu assisted reproductive tecnology (ART) meliputi proses in vitro maturation (IVM), In Vitro Fertilisasi (IFV) dan In Vitro Culture (IVC) (RRahman, et al., 2008).

Keberhasilan proses produksi embrio secara in vitro sangat tergantung pada oosit dan sprema yang digunakan. Sperma yang diambil dari sperma sapi Bali yang sudah tersedia dan tinggal kapasitasinya yang akan dilakukan pada medium, sedangkan oosit yang diteliti dimulai dari pengambilan ovarium di RPH. Oosit tumbuh dalam lingkungan folikel yang berada pada ovarium dan mengikuti suatu pertumbuhan tertentu.

Pada Sapi dapat  terjadi tiga kali gelombang folikel dalam satu siklus estrus. Gelombang pertama dan gelombang kedua tidak berkembang sampai folikel dominan karena pada saat itu masih berada pada fase luteal, hal ini disebabkan hormon progesteron masih tinggi, sedangkan pada gelombang ketiga hormon progesteron akan menurun sehingga folikel-folikel ini akan menjadi folikel dominan. Keberadaan folikel dominan akan menurunkan konsentrasi FSH (Gonzalez-Bulnes et al. 2004).

Terjadinya tekanan terhadap pertumbuhan folikel lain yang tumbuh pada gelombang yang bersamaan sehingga folikel lain akan mengalami regresi (Varishaga et, al, 1998). Selanjutnya folikel dominan akan mengalami ovulasi. Sisa folikel dominan yang akan mengalami ovulasi akan membentuk Corpus Luteum (CL).

Korpus luteum terdiri dari sel-sel yang akan menghasilkan hormon progesteron yang sifatnya memberikan umpan balik negatif terhadap hipotalamus dan hipofisa anterior, serta berguna dalam proses implantasi serta pemeliharaan kebuntingan. Keberadaan folikel dominan dan corpus luteum dalamovarium akan memberikan pengaruh terhadap perkembangan folikel. Perkembanagn folikel ini dipengaruhi oleh profil hormon satu siklus estrus birahi.

Beradasarkan informasi yang ada, maka penelitian ini difokuskan untuk mengetahui pengaruh keberadaan corpus luteum dan folikel dominan pada pasangan ovarium dengan memisahkan setiap ovarium dari masing-masing individu. Dimana ovarium mempunyai kondisi yang berbeda yaitu ovarium dengan status (+CL +FD), (-CL +FD), (+CL -FD), (-CL -FD).

Sehingga penelitian ini dilakukan untuk mengetahui status aktivitas ovarium dengan kondisi ovarium yang berbeda dengan melihat keberadaan CL dan FD yang mana CL dan FD ini berpengaruh terhadap oogenesis dan folikugenesis terhadap in vitro.

Tujuan penelitian: Mengkaji pengaruh keberadaan CL dan FD yang terdapat di ovarium pada masing-masing individu ternak terhadap tingkat pematangan, tingkat fertilisasi secara in vitro pada sapi bali.

Manfaat penelitian: Sebagai informasi terhadap langkah awal penelitian perkembangan embrio secara in vitro, pemanfaatan limbah RPH secara potensial.

Waktu dan Tempat Penelitian: Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Fertilisasi In Vitro, Laboratorium Terpadu, di Pusat Kegiatan Penelitian (PKP) Universitas Hasanuddin pada Oktober 2014-Maret 2015.

Hasil dan Pembahasan:
Tingkat pematangan Oosit secara in vitro sangat dipengaruhi oleh kualitas oosit yang digunakan. Pada penelitian ini, oosit yang digunakan diseleksi berdasarkan keadaan sitoplasma yang homogen dan sel-sel kumulus yang kompak, sehingga oosit yang digunakan diusahakan seragam dan dianggap mempunyai kompetensi perkembangan yang sama.

Pada penelitian ini setelah proses pematangan in vitro selama 24 jam dalam TCM 199 dengan status reproduksi  (+CL +FD), (-CL +FD), (+CL -FD), (-CL -FD), sel-sel kumulus akan diikuti oleh perubahan-perubahan pada gap junction yang terdiri dari transmembrane channels yang dibentuk oleh protein-protein heksamer yang termasuk dalam golongan protein penghubung.

Secara umum tingkat pematangan inti oosit yang berasal dari ovarium yang memiliki CL tanpa FD cenderung lebih tinggi dibanding dengan oosit yang berasal dari -CL +FD, +CL +FD, dan -CL -FD. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan CL dan FD tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap proses pematangan inti oosit sapi bali secara in vitro.

Hasil penelitian pada sapi menggunakan teknik ultrasonografi dengan perlakuan pemberian hormon FSH menunjukkan bahwa jumlah folikel, jumlah oosit yang teraspirasi, jumlah oosit yang hidup dan selanjutnya mengalami pembelahan dan membentuk blastosis secara in vitro, paling rendah pada hewan yang memiliki FD jika dibandingkan dengan hewan yang tidak memiliki FD.

Disamping itu, pemberian FSH pada hewan yang memiliki FD tidak memberikan respon yang positif untuk perkembangan folikel subordinat. Varishaga et al (1998) menyatakan bahwa jumlah oosit yang terkoleksi, tingkat pembelahan dan tingkat blastosit tertinggi diperoleh dari pasangan ovarium yang memiliki CL tanpa FD dan disusul oleh oosit yang berasal dari ovarium yang memiliki CL dan FD disisi lain.

Hasil penelitian Vassena et al (2003) menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan nyata dalam perolehan tingkat blastosis sapi berdasarkan perbedaan status reproduksi ovarium yang ditandai dengan keberadaan CL dan FD, walaupun secara umum tingkat blastosis semakin meningkat pada ovarium yang memiliki CL. Diduga CL yang menghasilkan progesteron dapat berfungsi mengatasi efek negatif yang ditimbulkan oleh keberadaan inhibin yang dihasilkan oleh FD (varishaga et al. 1998).

Tingkat Fertilisasi Oosit In Vitro, oosit dapat membentuk dua atau lebih pronukleus.
Berdasarkan hasilpenelitian menunjukkan bahwa oosit yang berasal dari ovarium yang tidak memiliki CL dan tidak memiliki FD jumlah oosit yang mampu membentuk dua atau lebih pronukleus lebih tinggi (60.29%), walaupun tidak terdapat perbedaan yang nyata dengan status reproduksi ovarium lainnya (P>0.05), hal ini disebabkan karena kulaitas oosit yang digunakan adalah seragam dengan keadaan sitoplasma yang homogen dan sel-sel kumulus yang kompak sehingga mempunyai kompetensi perkembangan yang sama.

Oleh karena itu pengaruh negatif dari inhibin yang berasal dari FD sudah tidak memberikan pengaruh terhadap tingkat fertilisasi oosit sapi bali secara in vitro. Tingkat fertilisasi ditandai dengan terbentuknya dua atau lebih pronukleus dalam oosit.

Kesimpulan:
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa keberadaan CL (Corpus Luteum) dan FD (Folikel Dominan) tidak mempengaruhi tingkat kematangan dan tingkat fertilisasi pada oosit sapi bali secara in vitro.

Saran: Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan disarankan untuk melakukan kajian lebih lanjut mengenai status reproduksi terhadap produksi embrio in vitro pada sapi bali.

Seminar Hasil: Andi Hamdana
Judul: Pengaruh Status Aktivitas Ovarium Terhadap Tingkat Kematangan dan Fertilisasi In Vitro Oosit Sapi bali.

Pembimbing I:  Prof Dr Ir Herry Sonjaya DEA DES
Pembimbing II: Dr Muhammad Yusuf Pd.H

Pembahas: Prof Dr Ir Ratmawati MalakaMSc dan Prof Dr Ir Djoni Pariwa MSc

Program Pascasarjana Unuversitas Hasanuddin
Jurusan Ilmu dan Teknologi Peternakan

Persentase seminar hasil dapat di tonton di youtube http://youtu.be/yeWEUczFim4





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hubungan antara Variabel X dan Y dalam Meneliti

Berdasarkan fungsinya variabel dibagi atas tiga fungsi yakni variabel sebab dibedakan atas veriabel penghubung dan variable akibat. Hubungan antara variable X dan Y ada hubungannya melalui variabel penghubung. Semua yang dilakukan dalam perlakuan merupakan variabel bebas. Apakah faktor mempengaruhi variabel Y untuk beberapa variabel bebas dan bagaimana pengaruhnya terhadap independen atau variabel Y berpengaruh atau tidak. Terkait karena nilainya tergantung dari variabel X, besar kecilnya tergantung pada variabel Y. Variabel  penghubung tidak dapat diamati secara langsung tapi dapat bisa merasakan hasilnya yang telah diamati. Contohnya disertasi ibu Nirwana, ada variabel sumber daya fisik dan sumber daya manusia serta faktor budaya yang mempengaruhi keuangan, salah satu yang mempengaruhi seseorang untuk membayar adalah modal budaya orang bugis misalnya kejujuran, panutan usaha dan sebagainya. Unsur budaya lokal dalam mempengaruhi peternak dalam kemampuannya mengakses pem

Anatomi dan Fisiologi Organ Reproduksi Betina

Sapi betina tidak hanya memproduksi sel kelamin yang sangat penting untuk mengawali kehidupan turunan baru, tetapi ia menyediakan pula tempat beserta lingkungannya untuk perkembangan individu baru itu, dimulai dari waktu pembuahan ovum dan memeliharanya selama awal kehidupan. Tugas ini dilaksanakan oleh alat reproduksi primer dan sekunder. Alat reproduksi primer, yaitu ovaria memproduksi ovum dan hormon betina. Organ reproduksi sekunder yaitu terdiri atas tuba fallopi, uterus, cervix, vagina dan vulva. Fungsi alat-alat ini adalah menerima dan mempersatukan sel kelamin jantan dan betina, memelihara dan melahirkan individu baru. Seringkali kelenjar susu dihubungkan sebagai pelengkap alat kelamin, karena kelenjar ini berhubungan erat dengan reproduksi dan penting untuk memberi makan anaknya yang baru dilahirkan selama beberapa waktu.

PROSES RIGORMORTIS DAN KUALITAS DAGING

Otot semasa hidup ternak merupakan alat pergerakan tubuh yang tersusun atas unsur-unsur kimia C, H, dan O sehingga disebut sebagai energi kimia yang berfungsi sebagai energi mekanik (untuk pergerakan tubuh) ditandai dengan kemampuan berkontraksi dan berelaksasi Setelah ternak disembelih dan tidak ada lagi aliran darah dan respirasi maka otot sampai waktu tertentu tidak lagi berkontraksi. Atau dikatakan instalasi rigor mortis sudah terbentuk, ditandai dengan kekakuan otot (tidak ekstensibel).