Langsung ke konten utama

Prospek Penerapan Model Integrasi Sapi dan Tanaman Pangan di Desa Cinennung Kab. Bone

Prospek Penerapan Model Integrasi Sapi dan Tanaman Pangan di Desa Cinennung Kab. Bone

Hardianti/P4000214008
Mahasiswa Fakultas Teknologi Hasil Ternak Pascasarjana Universitas Hasanuddin
 Tugas Matakuliah Pemodelan Pembangunan Peternakan Terpadu
Dosen: Prof. Dr. Ir. Jasmal A. Syamsu, M.Si

ABSTRAK
Integrasi tanaman pangan (padi dan Jagung) dan Sapi di lahan sawah dapat dipergunakan sebagai satu alternative untuk mempercepat peningkatan produksi tanamana pangan dan sapi melalui aplikasi teknologi sederhana dengan pemanfaatan limbah pertanian sebagai bahan pakan ternak sebagai contoh fermentasi dan amoniasi jerami padi yang nantinya akan mengamankan ketersediaan pakan sepanjang tahun, kotoran ternak dan sisa pakan hasil panen lainnya dapat di dekomposisi menjadi kompos. Dengan penggunaan kompos yang berkualitas telah terbukti akan meningkatkan efisiensi dan produksi padi serta jagung atau tanaman pangan lainnya dan memberi peluang peningkatan pendapatan petani dan menjaga kelestarian lahan persawahan/pertanian.
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi lahan-lahan yang sesuai untuk pengembangan ternak sapi potong di Desa Cinennung Kab. Bone, Menghitung daya dukung lahan serta menentukan kawasan pengembangan dan kapasitas peningkatan sapi potong berdasarkan potensi daya dukung lahan di Desa Cinennung.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode survei. Teknik observasi yaitu mengumplkan data yang dilakukan dengan mengadakan pengamatan langsung ke lapangan untuk  mengetahui fakta yang ada dengan tujuan mengetahui daya dukung pakan, lahan, limbah ternak, pupuk untuk pengembangan sapi potong di desa Cinennung Kecamatan Cina Kabupaten Bone. Data primer diperoleh melalui observasi langsung di lapangan dan melalui wawancara dengan responden menggunakan kuisioner. Variabel yang digunakan dalam penelitian adalah mengidentifikasi karakteristik peternak, identifikasi struktur populasi ternak, identifikasi jenis bahan pakan, identifikasi limbah ternak, identifikasi ketersediaan pupuk anorganik dan lahan pertanian. Analisa dengan menggunakan statistic deskriptif.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa Desa Cinennung adalah satu daerah di Kabupaten Bone yang cukup potensial untuk pengembangan peternakan sapi potong.  Namun, Kapasitas Peternak Dalam Pengelolaan Jerami Padi/Limbah Tanaman Pangan pada Pengeringan/hay, Amoniasi, Fermentasi dan Silase. Pengetahuan peternak tentang pengolahan  limbah tanaman pangan masih kurang.  Secara umum petani kurang  mengetahui dengan baik  dalam Pengeringan/hay, Amoniasi, Fermentasi dan Silase. Tingkat pengetahuan terhadap pengetahuan pengolahan sejalan dengan tingkat penerapan yakni masih rendah. Daya dukung pupuk kompos padi (19.74) dan jagung (11.41), Limbah  pertanian sebagai pakan ternak bisa dikalkulasi berdasarkan kebutuhan bahan kering (BK), protein kasar (PK) dan  total digestible nutrient (TDN). Jumlah produksi bahan kering limbah tanaman padi mencapai 52.66 % dan produksi tanaman bahan kering jagung 47.31%. Sebagian besar limbah jagung dan padi dapat dimanfaatkan sebagai bahan pakan.




Kata kunci : Sapi Potong, Daya Dukung, Pengembangan Ternak.

                                                                                   
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Pengembangan pola integrasi sapi dan padi di Sulawesi Selatan sangat perlu untuk dilaksanakan karena daerah ini memiliki luas persawahan 642.340 Ha (Dinas Pertanian Tanaman Pangan, 1999) dan populasi sapi potong sebesar 783.659 ekor (Dinas Peternakan, 1998). Keduanya sampai sekarang cenderung berdiri sendiri dan terpisah. Sawah umumnya ditanami padi serta jagung atau jenis tanaman pangan lainnya. Dengan adanya teknologi fermentasi limbah pertanian bermanfaat untuk memperkaya nilai gizi dan daya cerna. Selain itu fermentasi kotoran ternak akan diperoleh pupuk organic yang berkualitas. Dengan demikian pola integrasi sapi dan padi merupakan system usahatani yang efektif untuk peningkatan produksi tanaman pangan khususnya padi yang cenderung menurun akibat rendahnya kandunagan bahan organic dalam tanah serta merupakan sumber pertumbuhan baru bagi pengembangan populasi sapi potong di Sulawesi Selatan.
Integrasi tanaman pangan (padi dan Jagung) dan Sapi di lahan sawah dapat dipergunakan sebagai satu alternative untuk mempercepat peningkatan produksi tanamana pangan dan sapi melalui aplikasi teknologi sederhana dengan pemanfaatan limbah pertanian sebagai bahan pakan ternak sebagai contoh fermentasi dan amoniasi jerami padi yang nantinya akan mengamankan ketersediaan pakan sepanjang tahun, kotoran ternak dan sisa pakan hasil panen lainnya dapat di dekomposisi menjadi kompos. Dengan penggunaan kompos yang berkualitas telah terbukti akan meningkatkan efisiensi dan produksi padi serta jagung atau tanaman pangan lainnya dan memberi peluang peningkatan pendapatan petani dan menjaga kelestarian lahan persawahan/pertanian.
Usaha Integrasi sapi dan padi atau jagung dapat memberikan tambahan pendapatan petani misalnya peningkatan berat badan sapi dengan pemanfaatan jerami padi atau jagung. Sapi menghasilkan feses yang dapat dijadikan sebagai pupuk organik untuk meningkatkan produksi gabah kering giling.  Dengan demikian pada kawasan persawahan tersebut selain menghasilkan pangan dalam bentuk beras juga akan mampu menghasilkan daging. Lahan pertanian memerlukan pupuk organik untuk mempertahankan kesehatan tanah serta kecukupan untur hara tanaman. Integrasi sapi pada kawasan persawahan ini pada prinsipnya untuk memanfatkan potensi sumberdaya wilayah dalam rangka mempertahankan kesehatan lahan melalui siklus unsur hara secara sempurna dari sawah, jerami, sapi pupuk organik dan kembali kesawah lagi.





TINJAUAN PUSTAKA

Pola Integrasi Tanaman Ternak
Integrasi tanaman dan ternak merupakan bagian dari system usahatani yang terdiri atas beberapa subsistem seperti subsistem rumah-tangga petani, lahan, tanaman, ternak dan lain-lain yang terintegrasi dan saling tergantung satu sama lain (Amir dan Knipscheer, 1989). Sistem usahatani tanaman ternak pada dasarnya merupakan respon petani terhadap faktor risiko yang harus dihadapi, mengingat berbagai ketidakpastian dalam berusahatani (Soedjana,. 2007).
Pola integrasi tanaman ternak pada umumnya sangat membantu terutama untuk golongan petani berlahan sempit, sebab pemeliharaan ternak sapi bersifat diversifikasi komplementer (saling menunjang) dengan tanaman pangan. Ternak sapi mampu memberikan sumbangan nyata khususnya terhadap pendapatan petani utamanya pada wilayah topografi berbukit.

Integrasi Padi-Sapi
Ternak ruminansia termasuk sapi potong merupakan ternak yang paling efisien dalam memanfaatkan limbah pertanian yang rendah kandungan gizinya. Jerami padi bila diperlakukan (biofermentasi) dengan probiotik akan meningkatkan kualitas (kandungan nutrisi) sehingga mampu meningkatkan produksi pada ternak. Jerami padi merupakan sisa hasil panen yang kandungan protein, karbohidrat dan mineralnya sudah habis ditranslokasi untuk produk gabah, sehingga nilai gizinya menjadi terbatas dan hanya mampu untuk mempertahankan hidup pokok.

Pemanfaatan jerami padi sebagai pakan ternak menyebabkan sawah kehilangan pupuk organik yang berasal dari pembusukan/ dekomposisi jerami padi. Oleh karena itu  kotoran dan urine sapi ditampung dalam kandang kemudian dilakukan pengomposan lalu dikembalikan ke sawah. Langkah ini diharapkan dapat memperbaiki kondisi lahan sawah yang cenderung semakin rusak atau sakit (Adiningsih Dan Rochayati, 1988).

 Musofie (2002) mengemukakan bahwa petani di Indonesia selalu menggunakan pupuk anorganik dalam jumlah besar (overdosis) sehingga menyebabkan berubahnya struktur tanah. Tanah menjadi masam dan padat sehingga sulit diolah, mobilisasi unsur hara terhambat, menyebabkan suplay nutrisi/hara pada tanaman semakin berkurang dan mengakibatkan produktivitas tanaman menjadi berkurang. Pada beberapa lokasi direkomendasikan penggunaan pupuk urea sampai 350–500 kg/ha padahal sebelumnya (awal revolusi hijau) hanya 100–150 kg/ha.

Daur ulang yang terjadi dalam system usahatani integrasi tanaman padi-sapi potong, dimana budidaya tanaman menghasilkan produk samping berupa jerami yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan sapi potong. Sedangkan dari usaha pemeliharaan sapi akan diperoleh produk samping berupa kotoran dan urine yang dapat dikomposkan menjadi pupuk organik yang bermutu tinggi. Proses produksi semacam ini dikenal dengan Konsep LEISA (Low External Input Sustainable Agriculture) yang dapat meminimalkan biaya produksi (Reijntjes Et Al., 1999).

Ternak berperan sebagai bagian integral dalam sistem integrasi usahatani tanaman-ternak untuk saling mengisi dan bersinergi yang memberikan nilai tambah dan berperan dalam mata rantai daur hara melalui pakan ternak (Badan Litbang Pertanian 2000). Pola integrasi ternak dengan tanaman pangan atau crop-livestock system (CLS) mampu menjamin keberlanjutan produktivitas lahan, melalui perbaikan mutu dan kesuburan tanah dengan cara pemberian kotoran ternak secara kontinu sebagai pupuk organik sehingga kesuburan tanah terpelihara (Diwyanto dan Haryanto 2003). Daur ulang limbah panen berupa jerami padi dilakukan melalui proses fermentasi guna meningkatkan nilai nutrisinya. Proses peningkatan nilai nutrisi jerami efektif untuk menanggulangi keterbatasan pakan ternak sepanjang tahun.

Integrasi Jagung-Sapi
Jerami jagung merupakan limbah pertanian yang banyak terdapat di pedesaan dan hampir merata di lahan kering. Hasil pertanian seperti jerami jagung jika dicampur dengan bahan pakan lain yang mempunyai kandungan nutrien lengkap akan menghasilkan susunan pakan yang rasional dan murah. Jerami jagung merupakan sisa dari tanaman jagung setelah buahnya dipanen dan dapat diberikan pada ternak, baik dalam bentuk segar maupun dalam bentuk kering. Pemanfaatan jerami jagung sebagai pakan ternak telah dilakukan terutama untuk ternak sapi, kambing, dan domba (Direktorat Budidaya Ternak Ruminansia 2006 ).
Pemanfaatan limbah jagung sebagai pakan ruminansia di Sulawesi Selatan meningkat dengan pesat. Berdasarkan hasil penelitian, pemanfaatan limbah sebagai pakan mencapai 92,5%. Faktor yang mempengaruhi antara lain, jumlah hijauan pakan yang mulai berkurang sehingga limbah jagung mulai digunakan sebagai pakan dan 7,5% petani lainnya menggunakan limbah jagung sebagai pupuk organik untuk lahannya, yaitu dengan mengembalikan limbah tersebut ke lahan.
Kualitas jerami jagung sebagai pakan ternak dapat ditingkatkan dengan teknologi silase yaitu proses fermentasi yang dibantu jasad renik dalam kondisi an-aerob (tanpa oksigen). Teknologi silase dapat mengubah jerami jagung dari sumber pakan berkualitas rendah menjadi pakan berkualitas tinggi serta sumber energi bagi ternak.  
  

                                                                                METODE PENELITIAN
Waktu
Penelitian ini dilakukan selama 3 bulan yakni September hingga Desember 2014, pengambilan data di Desa Cinennung, Kecamatan Cina Kabupaten Bone.

Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode survei. Teknik observasi yaitu mengumplkan data yang dilakukan dengan mengadakan pengamatan langsung ke lapangan untuk  mengetahui fakta yang ada dengan tujuan mengetahui daya dukung pakan, lahan, limbah ternak, pupuk untuk pengembangan sapi potong di desa Cinennung Kecamatan Cina Kabupaten Bone.

Sumber Data
Data primer diperoleh melalui observasi langsung di lapangan dan melalui wawancara dengan responden menggunakan kuisioner.

Variabel Penelitian
Variabel yang digunakan dalam penelitian adalah mengidentifikasi karakteristik peternak, identifikasi struktur populasi ternak, identifikasi jenis bahan pakan, identifikasi limbah ternak, identifikasi ketersediaan pupuk anorganik dan lahan pertanian.

Analisa data
Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan statistic deskriptif.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Peternak
Tabel 1. Karakteristik umur, pendidikan, jumlah keluarga, pendapatan, kepemilikan ternak sapi, kepemilikan lahan, pengalaman beternak sapi, dan pengalaman bertani padi Peternak.
No
Uraian
Jumlah (Responden)
Persentasi (%)
1
Umur Peternak
a. <30 o:p="" th="">

6
35.29
b. 31-40 th
9
52.94
c. 41-50 th
2
11.76
d. >50 th
0
0.00
2
Pendidikan
a. Tidak tamat SD/Tamat SD
4
23.53
b. Tamat SLTP
5
29.41
c. Tamat STA
8
47.06
d. Tamat Perguruan Tingg
0
0.00
3
Jumlah Keluarga
a. <3 o:p="">
7
41.18
b. 3-4
5
29.41
c. 5-6
5
29.41
d. >6
0
0.00
4
Pendapatan
a.  ≤ 1.000.000
7
41.18
b. > 1.000.000 s/d 1.500.000
10
58.82
c. > 1.500.000 s/d 2.000.000
0
0.00
d. >2.000.000
0
0.00
5
Kepemilikan ternak sapi (ekor)
a. <3 o:p="">
0
0.00
b. 3-4
4
23.53
c. 5-6
3
17.65
d. >6
10
58.82
6
Kepemilikan lahan (ha)
a.  ≤ 0.5
1
5.88
b. >0.5-1.5
14
82.35
c. > 1.5-2.5
0
0.00
d.  > 2.5
0
0.00
7
Pengalaman beternak sapi (tahun)
a. ≤ 5
3
17.65
b. > 5-10
4
23.53
c. >10-15
5
29.41
d. > 15
5
29.41
8
Pengalaman bertani padi (tahun)
a. ≤ 5
0
0.00
b. > 5-10
6
35.29
c. >10-15
6
35.29
d. > 15
3
17.65


Karakteristik peternak sapi potong berdasarkan umur di kecamatan cinennung pada tabel 1 menunukkan bahwa hampir 100 % peternak sapi mempunyai umur produktif. Berdasarkan umur, maka para peternak sangat potensial untuk mengembangkan peternakan sapi potong.Peternak dengan umur yang lebih tua umumnya mempunyai penga-laman beternak yang lebih lama juga, disamping akan lebih bijaksana dalam penerimaan atau adopsi teknologi beternak sapi. Menurut Agustinus Gatot Murwanto (2008) menyatakan bahwa umur produktif untuk peternak yakni 5-55 tahun, dengan demikian umur peternak berkaitan erat dengan proses adopsi inovasi dan teknologi yang sangat penting dalam upaya peningkatan produktivitas.
Berdasarkan tabel diatas bisa dilihat bahwa, karakteristik pendidikan di desa cinennung tergolong rendah, bahkan cukup banyak peternak yang tidak mengecam pendidikan. Pendidikan tertinggi hanya tamatan SLTA mecnacapi 47.06%.  rendahnya tingkat pendidikan menjadi kendala dalam transfer inovasi teknologi, serta keterbatasan pendidikan responden maka informasi yang dapat diterima cenderung hanya bersumber dari komunikasi interpersonal. Sehingga struktur industri peternakan sebagian besar merupakan usaha skala rakyat. Semakin tinggi tingkat pendidikan peternak maka tatalaksana pemeliharaan makin baik karena peternak dapat mengadopsi inovasi dan merubah cara berfikir serta cara pemecahan masalah lebih matang dan seseorang yang mempunyai tingkat pendidikan lebih tinggi umumnya lebih menyadari kebutuhan akan informasi dan lebih terbuka terhadap media massa. (Kuswandi Dalam Handewi, Et Al., 1995).
Jumlah keluarga adalah anggota keluarga yang menjadi tanggungan peternak. Tabel 1 memperlihatkan, sebanyak 41.18% memiliki kurang dari tiga jumlah keluarga, 29.41 % berjumlah sekitar 3-6.  Apabila jumlah tanggungan keluarga peternak banyak maka pengeluargan pun ikut meningkat. Kebutuhan yang pasti dipenuhi untuk anggota rumah tangga selain makan, sandang dan papan juga kebutuhan-kebutuhan lain seperti kredit membeli motor untuk anak dan biaya untuk kebutuhan anak sekolah. Supriantini (2005) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi tingkat keejahteraan rumah tangga pedesaan adalah tingkat pendapatan dan tingginya pengeluargan untuk konsumsi rumah tangga.
Jumlah keluarga adalah anggota keluarga yang menjadi tanggungan peternak. Tabel 1 memperlihatkan, sebanyak 41.18% memiliki kurang dari tiga jumlah keluarga, 29.41 % berjumlah sekitar 3-6, dengan pendapatan rata-rata lebih dari 1.000.000 s/d 1.500.000.  Apabila jumlah tanggungan keluarga peternak banyak maka pengeluargan pun ikut meningkat. Kebutuhan yang pasti dipenuhi untuk anggota rumah tangga selain makan, sandang dan papan juga kebutuhan-kebutuhan lain seperti kredit membeli motor untuk anak dan biaya untuk kebutuhan anak sekolah. Supriantini (2005) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi tingkat keejahteraan rumah tangga pedesaan adalah tingkat pendapatan dan tingginya pengeluargan untuk konsumsi rumah tangga.
Jumlah kepemilikan sapi di kecamatan Cina yakni sebanyak 58.82 % dengan kepemilikina lebih dari 6 ekor sapi. Hal ini menunjukkan bahwa di daerah tersebut mempunyai umlah sapi sam dengan rata-rata kepemilikan sapi secara nasional. Skala usaha ternak sapi potong di Indonesia umumnya antara 1-4 ekor per rumah tangga petani (Widiyazid et al., 1999).
Sebanyak 82.35% kepemilikan lahan di desa tersebut, dengan luas kisaran lebih dari 0.5 ha hingga 1.5 ha. Kepemilikan lahan sebagai salah satu alternatif media sistem usaha pertanian secara terpadu. Sepantasnya jika lahan kosong (lahan tidur) dan yang belum dimanfaatkan secara optimal digunakan untuk pengembangan ternak.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengalaman beternak sapi potong dan bertani di desa Cinennung dapat dilihat pada tabel 1. Sebagian besar beternak 10 s/d 15 tahun sebanyak 29.41%. sedangkan pengalaman bertani 5 s/d 15 tahun mencapai 35.29%. Pengalaman  beternak dan bertani sangat berperan dalam menentukan keberhasilan peternak dalam meningkatkan pengembangan usaha ternak sapi dan pendapatan peternak. Pengalaman adalah guru yang baik, dengan pengalaman beternak sapi dan bertani yang cukup peternak akan akan lebih cermat dalam dalam berusaha dan dapat memperbaiki kekurangan di masa lalu.

Kapasitas Peternak dalam Pengelolaan Jerami Padi/Limbah Tanaman Pangan
Tabel 2.  Kapasitas Peternak Dalam Pengelolaan Jerami Padi/Limbah Tanaman Pangan
No
Uraian
jumlah
persentasi (%)
1
jerami padi/limbah tanaman pangan lainnya mencemari lingkungan
Tidak setuju
2
11.76
Kurang setuju
7
41.18
Setuju
7
41.18
Sangat setuju
1
5.88
2
Setelah panen padi, jerami padi/limbah tanaman pangan lainnya saya perlakukan yaitu
Dibiarkan disawah
3
17.65
Dibakar
6
35.29
Pakan ternak
8
47.06
Bahan kompos/pupuk
3
jerami padi/limbah tanaman pangan lainnya dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak sapi
Tidak setuju
Kurang setuju
9
52.94
Setuju
8
47.06
Sangat setuju
4
menggunakan jerami padi/limbah tanaman pangan lainnya sebagai pakan sapi
Tidak menggunakan
Kurang menggunakan
7
41.18
Kadang-kadang menggunakan
5
29.41

Selalu menggunakan
5
29.41

Pada tabel 2. Jerami padi/limbah tanaman pangan lainnya mencemari lingkungan 41.18% kurang setuju, setalah panen padi jerami padi/limbah tanaman pangan digunakan sebagai bahan kompos dan pupuk 47.06%, sebanyak 52.94% kurang setuju jika jerami padi/limbah tanaman pangan dimanfaatkan sebagai pakan ternak dan 41.18% tidak menggunakan jerami padi/limbah tanaman pangan sebagai pakan sapi. Dengan demikian sebagian besar ternak di Desa Cinennung dipelihara dengan cara dilepas dan subsisten. Pemanfaatan jerami padi/jagung untuk pakan, hanya sebagian besar peternak yang memanfaatkan, dan belum sepenuhnya dilakukan fermentasi pengolahan. Sebagian besar jerami padi hasil panen dibakar karena dinilai menyulitkan dalam pengolahan tanah. Menurut Haryanto et al. (2002), setiap hektar sawah menghasilkan jerami segar 12-15 t/ha/musim, dan setelah melalui proses fermentasi menghasilkan 5-8 t/ha, yang dapat digunakan untuk pakan 2-3 ekor sapi/tahun.

Kapasitas Peternak Dalam Pengelolaan Limbah Ternak Sapi
Tabel 3 Kapasitas Peternak Dalam Pengelolaan Limbah Ternak Sapi
No
Uraian
Jumlah
Persentasi (%)
1
Menurut saya limbah/kotoran sapi mencemari lingkungan?
Tidak setuju
0
0
Kurang setuju
8
47.06
Setuju
9
52.94
Sangat setuju
0
0.00
2
Menurut saya kotoran sapi dapat dimanfaatkan sebagai pupuk
Tidak setuju
0
0
Kurang setuju
0
0.00
Setuju
10
58.82
Sangat setuju
7
41.18
3
Menurut saya kotoran sapi dapat dimanfaatkan sebagai biogas?
Tidak setuju
0
0
Kurang setuju
5
29.41
Setuju
7
41.18
Sangat setuju
0
0
4
Apakah selama ini kotoran/feses sapi digunakan pupuk
Tidak menggunakan
7
41.18
Kurang menggunakan
8
47.06
Kadang-kadang menggunakan
2
11.76
Selalu menggunakan
0
0
5
Apakah selama ini kotoran/feses sapi digunakan biogas
Tidak menggunakan
17
100
Kurang menggunakan
0
0
Kadang-kadang menggunakan
0

Selalu menggunakan
0
0


Sembilan responden setuju bahwa  limbah/kotoran sapi mencemari lingkungan, kotoran sapi dapat dimanfaatkan sebagai pupuk sebanyak 10 responden yang setuju kotoran, sebanyak 41.18% setuju kotoran sapi dapat dimanfaatkan sebagai biogas. Masih kurangnya peternakan menggunakan kotoran/feses sapi sebagai pupuk, serta semua responden tidak menggunakan kotoran/feses sapi sebagai biogas. Selengkapnya dapat dilihat pada tabel 3. Hal ini terlihat jumlah petani peternak yang mengetahui.teknologi masih rendah Hasil ikutan peternakan yang sering dipakai untuk mempertahankan kesuburan lahan adalah feces dan urine (kotoran ternak). Untuk itu perlu dilakukan upaya peningkatan dan optimalisasi penerapan teknologi pengelolaan usahatani padi dan sapi potong serta pengolahan limbah  padi dan limbah ternak sapi menjadi produk pakan, pupuk dan biogas di tingkat  peternakan rakyat.

Kapasitas Pengetahuan/Keterampilan Peternak dalam Pengolahan Limbah Tanaman Pangan dan Pengolahan Limbah Ternak Sapi
Tabel 4.  Kapasitas Peternak Dalam Pengelolaan Jerami Padi/Limbah Tanaman Pangan Dan  Dalam Pengelolaan Limbah Ternak Sapi
No
Uraian
Jumlah Responden
Persentasi (%)
diketahui
dibutuhkan
diterapkan
diketahui
dibutuhkan
diterapkan
ya
tidak
ya
tidak
ya
tidak
ya
tidak
ya
tidak
ya
tidak
1
Kapasitas Peternak Dalam Pengelolaan Jerami Padi/Limbah Tanaman Pangan
Pengeringan/hay
6
11
9
8
6
10
35.3
64.7
52.9
47.1
35.3
58.8
Amoniasi
13
4
11
6
10
7
76.5
23.5
64.7
35.3
58.8
41.2
Fermentasi
11
6
10
7
8
9
64.7
35.3
58.8
41.2
47.1
52.9
Silase
9
8
13
4
11
6
52.9
47.1
76.5
23.5
64.7
35.3
2
Kapasitas Peternak Dalam Pengelolaan Limbah Ternak Sapi
Teknologi pengolahan biogas
12
5
11
6
8
9
70.6
29.4
64.7
35.3
47.1
52.9
Teknologi pengolahan pupuk cair
8
9
6
11
11
6
47.1
52.9
35.3
64.7
64.7
35.3

Teknologi pengolahan pupuk kampos
4
13
13
4
6
11
23.5
76.5
76.5
23.5
35.3
64.7

Tabel 4 menjelaskan tentang Kapasitas Peternak Dalam Pengelolaan Jerami Padi/Limbah Tanaman Pangan pada Pengeringan/hay, Amoniasi, Fermentasi dan Silase. Pengetahuan peternak tentang pengolahan  limbah tanaman pangan masih kurang.  Secara umum petani kurang  mengetahui dengan baik  dalam Pengeringan/hay, Amoniasi, Fermentasi dan Silase. Tingkat pengetahuan terhadap pengetahuan pengolahan sejalan dengan tingkat penerapan yakni masih rendah.
Tabel 4 memperlihatkan kapasitas peternak dalam hal pengetahuan dalam teknologi pengolahan biogas, pupuk cair, dan pupuk kompos. Secara umum terlihat bahwa petani peternak lebih dari 76.5% jumlah responden membutuhkan teknologi pengolahan kotoran ternak seperti feses dan urine menjadi biogas, pupuk cair dan pupuk kompos. Walaupun  demikian, ternyata petani peternak belum mengetahui dengan baik tentang  teknologi tersebut. Hal ini terlihat jumlah petani peternak yang mengetahui teknologi masih rendah yaitu teknologi biogas 29,4%, teknologi pupuk cair 47.1% sedangkan teknologi pupuk kompos mengetahui 23.5%.

Populasi Ternak Sapi
Tabel 5. Populasi Ternak Sapi
No
Uraian
Jumlah Ternak
Persentasi (%)
1
Struktur Polpulasi (Ekor)
Dewasa
53
47.75
Muda
36
32.43
Anak
22
19.82
2
Struktur Polpulasi (ST)
Dewasa
53
68.61
Muda
18
23.30

Anak
6.25
8.09

Tabel 5 menjelaskan bahwa persentasi struktur populasi ternak pada sapi dewasa (47.75%), Muda (32.43%) dan Anak (19.82%). System pemeliharaan di Indonesia secara umum dapat dikategorikan menjadi dua yaitu pola inbreeding dapat dilakukan dengan itegrasi dan pola penggemukan. Pada pola pemeliharaan pola integrasi  maka peternak yang terlibat yaitu hanya peternak kecil dengan skala 2-5 ekor/ternak. Rata-rata luasan tanaman yang dimiliki oleh 17 orang responden adalah seluas 0,5 ha.jika di kelompokan 0,4 -0,7 ha berarti kepemilikan masih rendah Terdiri dari lahan milik sendiri dan lahan sewa.Rata- rata pemilikan ternak sapi 3 sampai 9 ekor per peternak. Meskipun Para peternak kecil dipedesaan dengan pemberian pakan seadanya yaitu berupa rumput yang ada disekitar tanpa penambahan pakan tambahan seperti konsentrat.   Di Propinsi Bengkulu, dengan ditemukan sistem integrasi sapi-kelapa sawit (SISKA), maka daya tampung ternak dapat ditingkatkan. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa per hektar kebun sawit dapat digunakan untuk memelihara sapi sebanyak 1−3 ekor (Diwyanto, 2003).


Produksi Limbah Ternak
Tabel 6. Produksi Limbah Ternak
No
Uraian
Jumlah
1
Produksi Feses (kg/Tahun)
197373.75
2
Produksi Feses (Ton/tahun)
197.37
3
Produksi Pupuk Kompos (Ton/Tahun)
296.06
4
Estimasi Pendapatan dari Pupuk
355,272,750
5
Produksi Urin (Liter/tahun)
140,981
6
Produksi Pupuk Cair
195,964
7
Estimasi Harga Urin (liter/Tahun)
1,959,639,375
8
Produksi Biogas (m3/kg)
197373.75

Produksi limbah ternak di Desa Cinennung pada tabel 6 menunjukkan bahwa, produksi feses yang dihasilkan per tahun yakni 197373.75 kg, Produksi feses 197,37 ton/tahun, produksi pupuk kompos 296.06 ton/tahun, sedangkan estimasi pendapatan dari pupuk yakni Rp. 355.272.750 per tahun.  Tujuan utama petani memelihara ternak sapi untuk diambil kotorannya sebagai pupuk yang digunakan sendiri oleh petani di sawah atau perkebunannya. Peningkatan produktivitas padi atau jagung serta tanaman pangan lainnya dapat dilakukan dengan efisiensi dalam memanfaatkan lahan maupun tenaga kerja, serta menekan biaya pemupukan. Dengan demikian pemberian pupuk kimia dapat dikurangi sehingga kesuburan lahan tetap terjaga. Hal ini dapat dilakukan antara lain dengan penyediaan bahan organik atau kompos yang dapat diperoleh dengan cara mudah dan murah dari kotoran sapi. Hal ini sesuai dengan pendapat Corley (2003) yang menyatakan bahwa ternak sapi berperan sebagai mesin pengolah limbah atau pabrik penghasil bahan organik, dimana ternak sapi berpotensi menghasilkan kompos yang sangat dibutuhkan untuk pemeliharaan kesuburan tanah. Dengan adanya usahatani terpadu layak dan dapat dilanjutkan.
Pada pola integrasi usahatani padi dan sapi serta tanaman pangan lainnya,  sumber pupuk organik untuk tanaman  diperoleh dari kotoran ternak (feses dan urine). Pada tabel 6. Produksi limbah ternak di desa Cinennung yakni produksi urine pertahun yakni 140.981 liter, produksi pupuk cair 195.964 Liter/Tahun, Estimasi harga Urine di Desa Cinennung yakni Rp. 1959.639.375 dan Produksi Biogas yakni 197373,75 m3/kg. Supardi dan Anif (2001) menyatakan pupuk organic cair memberikan beberapa keuntungan, digunakan dengan cara menyiramkan ke akar ataupun disemprotkan ke tanaman. Pupuk organik mempunyai efek jangka panjang yang baik bagi tanah, yaitu dapat memperbaiki struktur kandungan organik tanah dan selain itu juga menghasilkan produk pertanian yang aman bagi kesehatan, sehingga pupuk organik ini dapat digunakan untuk pupuk yang ramah lingkungan.


Produksi Limbah Tanaman Pangan
Tabel 7. Produksi Limbah Tanaman Pangan
No
Uraian
Jumah
1
Limbah Tanaman Pangan Segar (ton/tahun)
Padi
87.68
Jagung
81.92
2
Limbah Tanaman Pangan BK (Ton/Tahun)
Padi
52.66

Jagung
47.316

Limbah pertanian riil yang paling potensial adalah padi (jerami dan sekam) mencapai 2.436.912 t/tahun), serta jagung (brangkasan dan tgkol) mencapai 495.608 t/tahun. Daerah potensial penghasil limbah pertanian yaitu Bone, Bulukumba, Pinrang, Sidrap, dan Gowa (Nappu et al. 2010). Produksi limbah tanaman pangan di Desa Cinennung dapat dilihat pada tabel 7.  Jumlah produksi bahan kering limbah tanaman padi mencapai 52.66 % dan produksi tanaman bahan kering jagung 47.31%. Sebagian besar limbah jagung dan padi dapat dimanfaatkan sebagai bahan pakan. Dengan sentuhan teknologi sederhana, limbah itu dapat diubah menjadi pakan bergizi dan sumber energi bagi ternak.
Pengolahan secara kimia menghasilkan residu yang menyebabkan pencemaran lingkungan, sehingga pengolahan secara kimia kurang dianjurkan. Pengolahan secara biologis dengan memanfaatkan bantuan mikroorganisme saat ini banyak dilakukan, karena lebih ramah terhadap lingkungan (Saraswati et al. 2005), Sebagian besar petani belum menggunakan teknologi dalam proses pengolahannya baik diolah sebagai pakan ataupun pupuk tetapi hanya 25% petani yang menggunakan teknologi dalam proses pengolahannya, yaitu melakukan fermentasi sederhana.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa produksi limbah padi segar lebih tinggi disbanding produksi limbah jagung segar. Daur ulang limbah panen berupa jerami padi dilakukan melalui proses fermentasi guna meningkatkan nilai nutrisinya. Proses peningkatan nilai nutrisi jerami efektif untuk menanggulangi keterbatasan pakan ternak sepanjang tahun. Dari seluas 0.4-1.5 ha tanaman padi diperoleh jerami padi segar  87.68% dan limbah jagung segar 81,92%. Menurut Ruli Basuni dan  Muladno 2010 menyatakan bahwa setelah difermentasi menjadi 7,92 t (rendemen 60%) yang dapat digunakan untuk pakan dua ekor sapi selama setahun dengan asumsi konsumsi pakan 10 kg/ekor/hari. Luas kepemilikan lahan petani kooperator yang relatif sempit, rata-rata 0,32 ha, diperkirakan dapat menghasilkan jerami padi sekitar 3 ton. Umumnya petani menyimpan jerami padi untuk pakan sapi sekitar 3/4 bagian dan sisanya 1/4 dibakar.

Daya Dukung Produksi Limbah
Tabel 8. Daya Dukung Produksi  Limbah
No
Uraian
Jumlah
1
Daya dukung Pupuk Kompos (ton/Ha)
Padi
19.74
Jagung
11.41
Total
31.15
2
Daya Dukung Pakan (ST)
Padi
26.89
Jagung
11.31

Total
38.2

Jerami padi merupakan  salah satu limbah pertanian yang tersedia  melimpah sepanjang tahun, namun kualitas  jerami  padi adalah sangat rendah karena  tingginya kadar serat kasar. Shanahan (2004) mengatakan bahwa hasil dari limbah pertanian mempunyai keterbatasan dalam  penggunaannya sebagai pakan ternak karena rendahnya kualitas yang dimiliki oleh pakan  ternak tersebut. Pada Tabel 8 menjelaskan daya dukung pupuk kompos padi (19.74) dan jagung (11.41), Limbah  pertanian sebagai pakan ternak bisa dikalkulasi berdasarkan kebutuhan bahan kering (BK), protein kasar (PK) dan  total digestible nutrient (TDN).

Daya dukung Pakan (ST) dapat dilihat pada tabel 8, kebutuhan ternak ruminansia akan  pakan dapat dihitung berdasarkan beberapa  acuan yang telah dikenala luas. NRC (1984)  mengatakan bahwa kebutuhan pakan ternak  ruminansia (1 ST) akan bahan kering 6,25  kg/ha. Hasil penelitian yang dilakukan oleh  Ditjen Peternakan dan Fapet UGM (1982)  mengkalkulasi bahwa kebutuhan pakan ternak  ruminansia (1 ST) untuk protein adalah 0,66  kg/ha dan untuk TDN adalah 4,3 kg/ha.

Kapasitas daya dukung ternak  ruminansia dari limbah pertanian di Desa Cinennung adalah padi 26.89 ST dan jagung 11.31 ST tingginya satuan ternak yang dapat ditampung dari limbah pertanian ini, perlu  adanya suatu usaha yang untuk memamfaatkan  potensi yang ada secara optimal. Kualitas dari limbah pertanian adalah  sangat rendah, agar limbah pertanian tersebut  dapat digunakan secara optimal oleh ternak  perlu adanya usaha-usaha untuk meningkatkan  daya cerna dari limbah tersebut. Berbagai  metode dapat diterapkan untuk menigkatkan  limbah pertanian tersebut baik secara fisik,  kimia maupun biologis.

Ditinjau berdasarkan komoditi pertanian yang ada, maka penyebaran sumber  daya pakan juga akan mempunyai karakteristik yang khas. Daya dukung jerami padi terdistribusi menurut wilayah persawahan yang didukung irigasi teknisdi Desa Cinennung Sedangkan jerami dari tanaman jagung umumnya berada pada wilayah dengan penyebaran lahan pertanian kering atau tadah hujan. Hal ini terkait dengan kebutuhan tanaman tersebut yang rendah akan air yang banyak.  Hasil perhitungan daya dukung menurut kabupaten menunjukkan bahwa terdapat beberapa kabupaten yang memiliki potensi sumber daya ternak dan sumber daya manusia yang tinggi, juga memiliki potensi daya dukung limbah pertanian yang baik, yakni melebih kebutuhan sesuai populasi yang ada. Desa Cinennung potensi yang sangat besar untuk memanfaat kan limbah pertanian dalam program pengembangan usaha peternakan ruminansianya
.
Prospek Penerapan Model Integrasi Sapi dan Tanaman Pangan
Tabel 9. Prospek penerapan model integrasi sapi dan Tanaman pangan
Prospek
Kebutuhan Pupuk Kompos untuk Tanaman
Kebutuhan BK untuk Ternak
Cukup (orang)
Kurang (orang)
Cukup
17
0
Kurang
17
0

Hampir seluruh lahan pertanian di  Indonesia mempunyai potensi untuk dapat  dipergunakan sebagai kawasan bagi  pengembangan ternak. Misalnya pada lahan  persawahan intensif, setiap kali panen dapat  diperoleh jerami yang volumenya setara  dengan produksi padi, yaitu sekitar 5-8  ton/ha/panen. Jumlah ini bila dipergunakan  untuk memelihara ternak besar, sapi atau  kerbau, dapat mencukupi kebutuhan serat  untuk 2 ekor ternak dewasa sepanjang tahun.  Bila setiap tahun dapat dilakukan pertanaman  2-3 kali, maka biomasa yang saat ini masih  dianggap limbah mampu mengakomodasi  kebutuhan serat bagi 4-5 ekor ternak sepanjang  tahun. Biasanya jerami padi dibakar atau dipergunakan untuk  keperluan lain atau kegiatan non-pertanian. Disamping jerami padi, dedak padi yang  dihasilkan juga dapat dimanfaatkan sebagai  salah satu komponen bahan pakan utama untuk  menyusun konsentrat (Haryanto Et Al., 2002)

Inovasi teknologi memungkinkan untuk  mengolah hasil samping dan limbah pertanian maupun agroindustri sebagai pakan murah.  Pada tanaman pangan, misalnya, dari 3,6  juta ha hanya sekitar 0,7 juta ha yang efektif  dimanfaatkan bagi usaha persawahan. Hal ini menunjukkan bahwa hampir 80% lahan  tersebut mempunyai peluang untuk  dipergunakan sebagai pengembangan tanaman sela, dimana selain menghasilkan produk utama limbahnya dapat dipergunakan sebagai pakan ternak (Subagyono, 2004)

Pertanian terpadu merupakan suatu sistem berkesinambungan dan tidak berdiri  sendiri serta menganut prinsip segala sesuatu yang dihasilkan akan kembali ke alam. Ini berarti limbah yang dihasilkan akan dimanfaatkan kembali menjadi sumber daya yang dapat menghasilkan (Muslim, 2006). Contohnya tanaman padi, beras yang dihasilkan merupakan bahan pangan utama, sementara jeraminya dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak terutama sapi. Namun penggunaan jerami sebagai pakan terkendala mutu yang rendah sehingga perlu diberi perlakuan amoniasi untuk meningkatkan kualitas gizinya. Ternak sapi yang dipelihara menghasilkan daging sebagai bahan pangan protein, dalam pemeliharaannya juga menghasilkan kotoran yang merupakan limbah yang dapat dimanfaatkan sebagai pupuk. Keterpaduan kedua sektor ini perlu dikaji dengan penerapan teknologi tepat guna sehingga masing-masing limbah lebih bermanfaat.


                                                            PENUTUP

Kesimpulan
·         Karakteristik pendidikan di desa cinennung tergolong rendah, bahkan cukup banyak peternak yang tidak mengecam pendidikan. Pendidikan tertinggi hanya tamatan SLTA mecnacapi 47.06%.  rendahnya tingkat pendidikan menjadi kendala dalam transfer inovasi teknologi, serta keterbatasan pendidikan responden maka informasi yang dapat diterima cenderung hanya bersumber dari komunikasi interpersonal.
·         Jerami padi/limbah tanaman pangan lainnya mencemari lingkungan 41.18% kurang setuju, setalah panen padi jerami padi/limbah tanaman pangan digunakan sebagai bahan kompos dan pupuk 47.06%, sebanyak 52.94% kurang setuju jika jerami padi/limbah tanaman pangan dimanfaatkan sebagai pakan ternak dan 41.18% tidak menggunakan jerami padi/limbah tanaman pangan sebagai pakan sapi.
·         Jumlah petani peternak yang mengetahui.teknologi masih rendah Hasil ikutan peternakan yang sering dipakai untuk mempertahankan kesuburan lahan adalah feces dan urine (kotoran ternak). Untuk itu perlu dilakukan upaya peningkatan dan optimalisasi penerapan teknologi pengelolaan usahatani padi dan sapi potong serta pengolahan limbah  padi dan limbah ternak sapi menjadi produk pakan, pupuk dan biogas di tingkat  peternakan rakyat.
·         Kapasitas Peternak Dalam Pengelolaan Jerami Padi/Limbah Tanaman Pangan pada Pengeringan/hay, Amoniasi, Fermentasi dan Silase. Pengetahuan peternak tentang pengolahan  limbah tanaman pangan masih kurang.  Secara umum petani kurang  mengetahui dengan baik  dalam Pengeringan/hay, Amoniasi, Fermentasi dan Silase. Tingkat pengetahuan terhadap pengetahuan pengolahan sejalan dengan tingkat penerapan yakni masih rendah.
·         Rata-rata luasan tanaman yang dimiliki oleh 17 orang responden adalah seluas 0,5 ha.jika di kelompokan 0,4 -0,7 ha berarti kepemilikan masih rendah Terdiri dari lahan milik sendiri dan lahan sewa.Rata- rata pemilikan ternak sapi 3 sampai 9 ekor per peternak.
·         Produksi limbah ternak di Desa Cinennung pada tabel 6 menunjukkan bahwa, produksi feses yang dihasilkan per tahun yakni 197373.75 kg, Produksi feses 197,37 ton/tahun, produksi pupuk kompos 296.06 ton/tahun, sedangkan estimasi pendapatan dari pupuk yakni Rp. 355.272.750 per tahun. 
·         Jumlah produksi bahan kering limbah tanaman padi mencapai 52.66 % dan produksi tanaman bahan kering jagung 47.31%. Sebagian besar limbah jagung dan padi dapat dimanfaatkan sebagai bahan pakan.
·         Daya dukung pupuk kompos padi (19.74) dan jagung (11.41), Limbah  pertanian sebagai pakan ternak bisa dikalkulasi berdasarkan kebutuhan bahan kering (BK), protein kasar (PK) dan  total digestible nutrient (TDN).
·         Pertanian terpadu merupakan suatu sistem berkesinambungan dan tidak berdiri  sendiri serta menganut prinsip segala sesuatu yang dihasilkan akan kembali ke alam. Ini berarti limbah yang dihasilkan akan dimanfaatkan kembali menjadi sumber daya yang dapat menghasilkan (Muslim, 2006).


                                                            DAFTAR PUSTAKA

Amir dan Knipscheer 2008. “Penampilan Budidaya Ternak Ruminansia di Pedesaan Melalui Teknologi Ramah Lingkungan.”Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008

Adiningsih, S . J ., D . Rochayati, 1988) .1995 . Pengelolaan Hara Terpadu Untuk Mencapai produksi pangan yang mantab danakrab lingkungan . Pros . Pertemuan TeknisPenelitian Tanah dan Agroklimat . Makalah Kebijakan. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Badan Litbang Pertanian. Him 55-70 .

Badan Litbang Pertanian . 2000 . Panduan lokakarya pemahanan pedesaan secara partisipatif (Participatory rural appraisal) .Badan Litbang Pertanian, Jakarta .

Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan. 2009. Laporan Tahunan Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten Manokwari.

Dinas Peternakan ,1989. Pedoman Teknis Pengembangan Usaha Integrasi Ternak Sapid Tanaman .Direktorat Jenderal Peternakan .Kementrian Pertanian, Jakarta.

Ditjen Peternakan dan Fapet UGM. 1982.  Laporan survey inventarisasi limbah pertanian. Direktorat Jenderal Peternakan Fak.Peternakan UGM, Jakarta

Direktorat Budidaya Ternak Ruminansia. 2006. Limbah tanaman sebagai pakan ruminansia, Jakarta.

Diwiyanto,K. Bambang,R.P.dan Darwinsyah,L.2003.Integrasi Tanaman Ternak dalam Pengembangan Agribisnis yang Berdaya Saing Berkelanjutan dan Berkerakyatan. Disampaikan pada Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Puslitbang ,Bogor

Dwiyanto, K. 2002. Pemanfaatan sumber daya lokal dan inovasi teknologi dalam Mendukung usaha agribisnis yang berdaya saing, Berkelanjutan, dan berkarakyatan. Wartozoa 12

Haryanto,B.,I.Inounu,Igmb Udiarsana Dan K.Diwyanto. 2002. Panduan Teknis Sistem Integrasi Padi-Ternak. Departemen Pertanian, Jakarta.


Haryanto, B. 2004. Sistem Integrasi padi ternak dan ternak sapi (SIPT) dalam Program P3T. Makalah disampaikan Pada Seminar Pekan Nasional di Balai Penelitian Tanaman Padi. Sukamadi 15-19-2004.

Muslim, Chairun. 2006. Penegembangan Sistem Integrasi Padi-Ternak dalam Upaya Pencapaian Swasembada Daging Di Indonesia Suatu Tinjauan Evaluasi. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Volume 4 No. 3, September 2006 : 226-239

Nappu, M.B., P. Tandisau., M. Thamrin. N. Razak., M. Musyafir., A. Ahmad., S. Saud. 2010. Survai Dan Observasi Potensi Limbah Pertanian Di Sulawesi Selatan. Kerjasama Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan Dengan PT. Semen Tasa, 2010.

Reijntjes, C. 1992. Pertanian Masa Depan Pengantar Pertanian Berkelanjuatan dengan Input Luar Rendah. Yogyakarta , Penerbit Kanisius

Supardi, Fitrianto, dan Sofyan Anif. 2001. Uji Pupuk Organik Cair Dari Limbah Pasar Terhadap Pertumbuhan Tanaman Selada (Lactuca sativa L) Dengan Media Hidroponik. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiah Surakarta.

Shanahan, J.F.Smith, D.H., Stanto, T.L. and  Horn, B.E.,  2004. Crop Residues for Livestock Feed.  http://www.ext.colostate.edu/pubs/crop

Subagyono,D. 2004. Propsek Pengembangan Ternak Pola Integrasi Di Kawasan Perkebunan. Prosiding Seminar Nasional Sistem Integrasi Tanaman-Ternak. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Badan Litbang Pertanian, Bogor.

Soedjana,. 2007. Analisis Struktur dan Perencanaan Tata Ruang Usaha Ternak Sapi Potong Di Kabupaten Lombok Barat Propinsi Nusa Tenggara Barat. Tesis. Program Studi Ilmu Perencanaan Pengembangan Wilayah dan pedesaan (PWD). IPB. 







Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hubungan antara Variabel X dan Y dalam Meneliti

Berdasarkan fungsinya variabel dibagi atas tiga fungsi yakni variabel sebab dibedakan atas veriabel penghubung dan variable akibat. Hubungan antara variable X dan Y ada hubungannya melalui variabel penghubung. Semua yang dilakukan dalam perlakuan merupakan variabel bebas. Apakah faktor mempengaruhi variabel Y untuk beberapa variabel bebas dan bagaimana pengaruhnya terhadap independen atau variabel Y berpengaruh atau tidak. Terkait karena nilainya tergantung dari variabel X, besar kecilnya tergantung pada variabel Y. Variabel  penghubung tidak dapat diamati secara langsung tapi dapat bisa merasakan hasilnya yang telah diamati. Contohnya disertasi ibu Nirwana, ada variabel sumber daya fisik dan sumber daya manusia serta faktor budaya yang mempengaruhi keuangan, salah satu yang mempengaruhi seseorang untuk membayar adalah modal budaya orang bugis misalnya kejujuran, panutan usaha dan sebagainya. Unsur budaya lokal dalam mempengaruhi peternak dalam kemampuannya mengakses pem

Anatomi dan Fisiologi Organ Reproduksi Betina

Sapi betina tidak hanya memproduksi sel kelamin yang sangat penting untuk mengawali kehidupan turunan baru, tetapi ia menyediakan pula tempat beserta lingkungannya untuk perkembangan individu baru itu, dimulai dari waktu pembuahan ovum dan memeliharanya selama awal kehidupan. Tugas ini dilaksanakan oleh alat reproduksi primer dan sekunder. Alat reproduksi primer, yaitu ovaria memproduksi ovum dan hormon betina. Organ reproduksi sekunder yaitu terdiri atas tuba fallopi, uterus, cervix, vagina dan vulva. Fungsi alat-alat ini adalah menerima dan mempersatukan sel kelamin jantan dan betina, memelihara dan melahirkan individu baru. Seringkali kelenjar susu dihubungkan sebagai pelengkap alat kelamin, karena kelenjar ini berhubungan erat dengan reproduksi dan penting untuk memberi makan anaknya yang baru dilahirkan selama beberapa waktu.

PROSES RIGORMORTIS DAN KUALITAS DAGING

Otot semasa hidup ternak merupakan alat pergerakan tubuh yang tersusun atas unsur-unsur kimia C, H, dan O sehingga disebut sebagai energi kimia yang berfungsi sebagai energi mekanik (untuk pergerakan tubuh) ditandai dengan kemampuan berkontraksi dan berelaksasi Setelah ternak disembelih dan tidak ada lagi aliran darah dan respirasi maka otot sampai waktu tertentu tidak lagi berkontraksi. Atau dikatakan instalasi rigor mortis sudah terbentuk, ditandai dengan kekakuan otot (tidak ekstensibel).