Langsung ke konten utama

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP LISENSI HAK CIPTA DI BIDANG MUSIK DAN LAGU DI INDONESIA

Sejak lama pembajakan terhadap musik dan lagu telah menjadi fenomena sosial di Indonesia. Pembajakan lagu dilakukan dengan menggunakan berbagai media, seperti kaset, CD (Compaq Disk), VCD (Video Compaq Disk), dan lain-lain.

Dengan adanya pembajakan ini kaset-kaset, CD, dan VCD bajakan membanjiri pasaran dengan harga yang jauh lebih murah daripada harga kaset, CD, dan VCD aslinya. Hal ini dapat terjadi karena kaset, CD, dan VCD bajakan itu hanya diproduksi tanpa membayar pajak, sehingga harga jualnya dapat jauh lebih murah. Di lain pihak, konsumen musik dan lagu di Indonesia tentu saja lebih menyukai membeli kaset, CD, dan VCD bajakan itu karena kualitasnya lebih kurang sama dengan yang asli sedangkan harganya jauh lebih murah.


Pembajakan terhadap musik dan lagu ini bukan hanya terhadap musik dan lagu yang diciptakan oleh orang Indonesia asli, tetapi juga meliputi musik dan lagu yang diciptakan oleh orang dari luar negeri (pengarang lagu dan pemusik asing). Hal inilah yang sering menjadi bahan protes para pemusik dan pengarang lagu dari luar negeri yang merasakan bahwa perlindungan yang diberikan terhadap ciptaan mereka lemah sekali di Indonesia. Apabila hal ini dibiarkan saja maka akan membuat buruk nama Indonesia di dunia internasional yang pada akhirnya akan merugikan bangsa Indonesia sendiri.

Bangsa Indonesia baru memiliki Undang-undang Hak Cipta pada tahun 1982 melalui Undang-undang Hak Cipta Nomor 6 Tahun 1982 yang disahkan pada tanggal 8 April 1982. Kemudian undang-undang itu direvisi dengan Undang-undang Hak Cipta Nomor 7 Tahun 1987 pada tanggal 19 September 1987. Beberapa hal yang direvisi, diantaranya yaitu masalah delik aduan yang kemudian direvisi menjadi delik biasa, sanksi pidana maksimum dari tiga tahun penjara dan denda maksimum lima juta rupiah menjadi sanksi pidana maksimum tujuh tahun dan denda 100 juta rupiah. Selain itu, program komputer juga mendapat perlindungan hukum sejak Undang-undang Hak Cipta Nomor 7 Tahun 1987 disahkan.

Kemudian, Undang-undang Hak Cipta Nomor 7 Tahun 1987 inipun mengalami revisi yang dilakukan seiring dengan revisi Undang-undang Paten dan Undang-undang Merek melalui Undang-undang Hak Cipta Nomor 12 Tahun 1997. Revisi itu merupakan konsekuensi logis karena Indonesia meratifikasi pembentukan organisasi perdagangan dunia (WTO) melalui Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994, sehingga Undang-undang Hak Cipta Nomor 7 Tahun 1987 telah diadakan perubahan dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997.

Beberapa hal yang baru dalam Undang-undang itu diantaranya adalah :
1. Performing rights (hak-hak penampilan) yang dalam Undang-undang Hak Cipta disebut hak-hak pelaku.
2. Broadcasting rights (hak-hak siaran).
3. Neighbouring rights (hak-hak yang berkaitan dengan hak cipta).
4. Pencantuman pasal-pasal lisensi serta rental rights (hak-hak penyewaan) bagi karya rekaman video, film dan program komputer.

Secara yuridis tidak ada kewajiban mendaftarkan setiap ciptaan pada Kantor Hak Cipta, karena hak cipta tidak diperoleh berdasarkan pendaftaran namun hak cipta terjadi dan dimiliki penciptanya secara otomatis ketika ide itu selesai diekspresikan dalam bentuk suatu karya atau ciptaan yang berwujud. Seandainya suatu ciptaan didaftar pada Kantor Hak Cipta, hal itu merupakan anggapan bahwa si pendaftar “dianggap” sebagai penciptanya kecuali ada pihak lain yang dapat membuktikan sebaliknya bahwa ia sebagai pencipta atau pemegang hak cipta. Namun demikian, apabila suatu ciptaan dapat dengan mudah dilanggar oleh pihak lain, misalnya mudah diperbanyak atau digandakan, maka disarankan ciptaan itu didaftarkan pada Kantor Hak Cipta. Hal ini dimaksudkan untuk memudahkan pembuktiannya apabila timbul masalah yang berkaitan dengan ciptaan tersebut.

Dalam hal ini untuk mendapatkan izin memperbanyak suatu ciptaan orang lain diperlukan lisensi dari pemilik hak cipta. Lisensi hak cipta ini telah dimuat dalam UU No. 12 Th. 1997 tentang Hak Cipta. Selain mengatur mengenai tata cara untuk mendapatkan lisensi, UU No. 12 Th. 1997 juga mengatur mengenai sanksi yang diberikan kepada pihak-pihak yang melanggarnya.
Untuk lisensi di bidang musik dan lagu, para produsen kaset, CD, dan VCD musik dan lagu diperbolehkan memperbanyak ciptaan musik dan lagu orang lain dengan syarat bahwa orang tersebut telah mendapat izin terlebih dahulu dari pengarang dan pemusik atau pemegang hak cipta dari musik dan lagu yang ingin diperbanyaknya. Tentu saja dalam kaitan ini pihak yang ingin meminta lisensi itu harus membayar sejumlah uang balas jasa yang disebut dengan royalti.

Royalti ini diberikan sesuai dengan perjanjian yang dibuat, misalnya royalti per kaset yang terjual, royalti per tahun, royalti per lagu/musik yang diperbanyak, dan lain-lain. Dengan adanya sistem royalti ini maka pengarang dan pemusik yang lagu dan musiknya diperbanyak oleh orang lain tidak akan merasa dirugikan, bahkan sebaliknya akan merasa diuntungkan.

Namun demikian walaupun telah ada peraturan yang mengatur mengenai lisensi hak cipta disertai dengan sanksi yang berat bagi para pelanggarnya, akan tetapi di dalam prakteknya masih banyak para pelanggar hak cipta di bidang musik dan lagu. Adanya kenyataan ini menimbulkan keinginan untuk meneliti mengenai masalah ini yang hasilnya akan dituliskan dalam karya ilmiah skripsi berjudul Perlindungan Hukum Hak Cipta di Bidang Musik dan Lagu di Indonesia.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hubungan antara Variabel X dan Y dalam Meneliti

Berdasarkan fungsinya variabel dibagi atas tiga fungsi yakni variabel sebab dibedakan atas veriabel penghubung dan variable akibat. Hubungan antara variable X dan Y ada hubungannya melalui variabel penghubung. Semua yang dilakukan dalam perlakuan merupakan variabel bebas. Apakah faktor mempengaruhi variabel Y untuk beberapa variabel bebas dan bagaimana pengaruhnya terhadap independen atau variabel Y berpengaruh atau tidak. Terkait karena nilainya tergantung dari variabel X, besar kecilnya tergantung pada variabel Y. Variabel  penghubung tidak dapat diamati secara langsung tapi dapat bisa merasakan hasilnya yang telah diamati. Contohnya disertasi ibu Nirwana, ada variabel sumber daya fisik dan sumber daya manusia serta faktor budaya yang mempengaruhi keuangan, salah satu yang mempengaruhi seseorang untuk membayar adalah modal budaya orang bugis misalnya kejujuran, panutan usaha dan sebagainya. Unsur budaya lokal dalam mempengaruhi peternak dalam kemampuannya mengakses pem

Anatomi dan Fisiologi Organ Reproduksi Betina

Sapi betina tidak hanya memproduksi sel kelamin yang sangat penting untuk mengawali kehidupan turunan baru, tetapi ia menyediakan pula tempat beserta lingkungannya untuk perkembangan individu baru itu, dimulai dari waktu pembuahan ovum dan memeliharanya selama awal kehidupan. Tugas ini dilaksanakan oleh alat reproduksi primer dan sekunder. Alat reproduksi primer, yaitu ovaria memproduksi ovum dan hormon betina. Organ reproduksi sekunder yaitu terdiri atas tuba fallopi, uterus, cervix, vagina dan vulva. Fungsi alat-alat ini adalah menerima dan mempersatukan sel kelamin jantan dan betina, memelihara dan melahirkan individu baru. Seringkali kelenjar susu dihubungkan sebagai pelengkap alat kelamin, karena kelenjar ini berhubungan erat dengan reproduksi dan penting untuk memberi makan anaknya yang baru dilahirkan selama beberapa waktu.

PROSES RIGORMORTIS DAN KUALITAS DAGING

Otot semasa hidup ternak merupakan alat pergerakan tubuh yang tersusun atas unsur-unsur kimia C, H, dan O sehingga disebut sebagai energi kimia yang berfungsi sebagai energi mekanik (untuk pergerakan tubuh) ditandai dengan kemampuan berkontraksi dan berelaksasi Setelah ternak disembelih dan tidak ada lagi aliran darah dan respirasi maka otot sampai waktu tertentu tidak lagi berkontraksi. Atau dikatakan instalasi rigor mortis sudah terbentuk, ditandai dengan kekakuan otot (tidak ekstensibel).