Langsung ke konten utama

HKI yang Harus dilindungi ialah Merek

I. Konsepsi Merek
Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (selanjutnya disingkat HKI) merupakan langkah maju bagi Bangsa Indonesia yang pada tahun 2020 memasuki era pasar bebas. Salah salah satu implementasi era pasar bebas ialah negara dan masyarakat Indonesia akan menjadi pasar yang terbuka bagi produk ataupun karya orang/perusahaan luar negeri (asing), demikian pula masyarakat Indonesia dapat menjual produk/karya ciptaannya ke luar negeri secara bebas. Oleh karena itu, sudah selayaknyalah produk-produk ataupun karya-karya lainnya yang merupakan HKI dan sudah beredar dalam pasar global diperlukan perlindungan hukum yang efektif dari segala tindak pelanggaran yang tidak sesuai dengan persetujuan TRIPs serta konvensi-konvensi yang telah disepakati.


Salah satu contoh HKI yang harus dilindungi ialah merek. Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa.

Merek merupakan hal yang sangat penting dalam dunia bisnis. Merek produk (baik barang maupun jasa) tertentu yang sudah menjadi terkenal dan laku di pasar tentu saja akan cenderung membuat produsen atau pengusaha lainya memacu produknya bersaing dengan merek terkenal, bahkan dalam hal ini akhirnya muncul persaingan tidak sehat. Merek dapat dianggap sebagai “roh” bagi suatu produk barang atau jasa (Insan Budi Maulana, 1997:60). Merek sebagai tanda pengenal atau tanda pembeda dapat menggambarkan jaminan kepribadian (individuality) dan reputasi barang dan jasa hasil usahanya sewaktu diperdagangkan.

Apabila dilihat dari sudut produsen, merek digunakan sebagai jaminan hasil produksinya, khususnya mengenai kualitas, di samping untuk promosi barang-barang dagangannya guna mencari dan meluaskan pasar. Selanjutnya, dari sisi konsumen, merek diperlukan untuk melakukan pilihan-pilihan barang yang akan dibeli (Wiratmo Dianggorro, 1997:34). Apabila suatu produk tidak mempunyai merek maka tentu saja produk yang bersangkutan tidak akan dikenal oleh konsumen. Oleh karena itu, suatu produk (produk yang baik atau tidak) tentu memiliki merek.

Bahkan tidak mustahil, merek yang telah dikenal luas oleh konsumen karena mutu dan harganya akan selalu diikuti, ditiru, “dibajak”, bahkan mungkin dipalsukan oleh produsen lain yang melakukan persaingan curang (Insan Budi Maulana, 1997:60). Perlindungan merek secara khusus diperlukan mengingat merek sebagai sarana identifikasi individual terhadap barang dan jasa merupakan pusat “jiwa” suatu bisnis, sangat bernilai dilihat dari berbagai aspek ( Paul Latimer, 1997:161).

Dengan demikian, merek merupakan hal yang sangat penting dalam dunia bisnis. Merek sangat erat kaitannya dengan dunia perdagangan baik berupa perdagangan barang maupun jasa. Fungsi merek dalam dunia perdagangan ialah agar konsumen dapat membedakan hasil suatu produk tertentu dengan produk lainnya untuk barang atau jasa yang sejenis. Merek merupakan identifikasi suatu produk atau hasil perusahaan yang dijual di pasaran. Fungsi merek tersebut berkembang seiring perkembangan perekonomian nasional dan internasional.

II. SekilasPerkembangan Perlindungan Merek di Indonesia

Pada abad pertengahan sebelum revolusi industri, merek telah dikenal dalam berbagai bentuk atau istilah sebagai tanda pengenal untuk membedakan milik seseorang dengan milik orang lain. Didahului oleh peranan para Gilda yang memberikan tanda pengenal atas hasil kerajinan tangannya dalam rangka pengawasan barang hasil pekerjaan anggota Gilda sejawat, yang akhirnya menimbulkan temuan atau cara mudah memasarkan barang (Harsono Adisumarto, 1990:44-45).

Di Inggris, merek mulai dikenal dari bentuk tanda resmi (hallmark) sebagai suatu sistem tanda resmi tukang emas, tukang perak dan alat-alat pemotong yang terus dipakai secara efektif bisa membedakan dari penghasil barang sejenis lainnya (Muhammad Djumhana & Djubaedillah, 1993:117).
Persoalan merek sebenarnya bukan hal baru bagi Indonesia. Dalam sejarah perundang-undangan merek, dapat diketahui bahwa pada masa kolonial Belanda berlaku Reglemen Industriele Eigendom (RIE) yang dimuat dalam Staatblad 1912 Nomor 545 jo Staatblad 1913 Nomor 214. Pada masa penjajahan Jepang, dikeluarkan peraturan merek, yang disebut Osamu Seire Nomor 30 tentang Pendaftaran cap dagang yang mulai berlaku tanggal 1 bulan 9 Syowa (tahun Jepang 2603.

Setelah Indonesia Merdeka (17 Agustus 1945), peraturan tersebut masih diberlakukan berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945. Selanjutnya, sejak era kebijakan ekonomi terbuka pada Tahun 1961 diberlakukan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961 tentang Merek Perusahaan dan Merek Perniagaan yang menggantikan peraturan warisan kolonial Belanda yang sudah dianggap tidak memadai, meskipun Undang-Undang tersebut pada dasarnya mempunyai banyak kesamaan dengan produk hukum kolonial Belanda tersebut (Saidin, 1995: 249-250).

Perkembangan selanjutnya, Undang-Undang Merek telah mengalami perubahan, baik diganti maupun direvisi karena nilainya sudah tidak sesuai dengan perkembangan keadaan dan kebutuhan. Pada akhirnya, pada tahun 2001 diundangkanlah Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek. Undang-Undang Merek ini merupakan hukum yang mengatur perlindungan merek di Indonesia. Undang-Undang tersebut merupakan produk hukum terbaru di bidang merek sebagai respon untuk menyesuaikan perlindungan merek di Indonesia dengan standar internasional yang termuat dalam Pasal 15 Perjanjian TRIPs sebagai pengganti UU sebelumnya yaitu Undang-Undang Nomor 14 tahun 1997 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 19 tahun 1992 tentang Merek.

Berdasar Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001, dinyatakan bahwa Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, ataupun kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa.

Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan adanya beberapa unsur merek, yaitu:
1. Syarat utama merek adalah tanda yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam perdagangan barang atau jasa.
2. Tanda yang dapat menjadi simbol merek terdiri dari unsur-unsur, gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut.
Sehubungan dengan definisi merek tersebut, di Australia dan Inggris, definisi merek telah berkembang luas dengan mengikutsertakan bentuk dan tampilan produk di dalamnya. Di Inggris, Perusahaan Coca Cola telah mendaftarkan bentuk botol sebagai merek. Perkembangan ini mengindikasikan kesulitan membedakan perlindungan merek dan desain industri. Di beberapa negara, suara, bau, dan warna dapat didaftarkan sebagai merek.

Dalam merek dikenal adanya hak eksklusif sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, yaitu hak eksklusif yang diberikan negara kepada pemilik merek. Secara umum hak eksklusif dapat didefinisikan sebagai ‘hak yang memberi jaminan perlindungan hukum kepada pemilik merek, dan merupakan pemilik satu-satunya yang berhak memakai dan mempergunakan serta melarang siapa saja untuk memiliki dan mempergunakannya’. Dengan demikian, hak eksklusif memuat dua hal, yaitu, pertama,menggunakan sendiri merek tersebut, dan kedua, memberi ijin kepada pihak lain menggunakan merek tersebut.

Hak eksklusif bukan merupakan monopoli yang dilarang sebagai persaingan tidak sehat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat, tetapi justru merupakan hak yang bersifat khusus dalam rangka memberi penghormatan dan insentif pengembangan daya intelektual untuk sebuah persaingan sehat dan kesejahteraan masyarakat.
Dalam hukum merek terdapat ajaran atau doktrin persamaan yang timbul berkaitan dengan fungsi merek, yaitu untuk membedakan antara barang atau jasa yang satu dengan yang lainnya.

Ada dua ajaran persamaan dalam merek yaitu:
a. Doktrin persamaan keseluruhan, dan
b. Doktrin persamaan identik.

Menurut doktin persamaan menyeluruh, persamaan merek ditegakkan di atas prinsip entireties similar yang berarti antara merek yang satu dengan yang lain mempunyai persamaan yang menyeluruh meliputi semua faktor yang relevan secara optimal yang menimbulkan persamaan (M. Yahya Harahap, 1996 : 288).

Doktrin persamaan identik mempunyai pengertian lebih luas dan fleksibel, bahwa untuk menentukan ada persamaan merek tidak perlu semua unsur secara komulatif sama, tetapi cukup beberapa unsur atau faktor yang relevan saja yang sama sehingga terlihat antara dua merek yang diperbandingkan identik atau sangat mirip. Jadi menurut doktrin ini antara merek yang satu dengan yang lain tetap ada perbedaan tetapi perbedaan tersebut tidak menonjol dan tidak mempunyai kekuatan pembeda yang kuat sehingga satu dengan yang lain mirip (similar) maka sudah dapat dikatakan identik.
Fungsi merek sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek adalah sebagai alat pembeda barang atau jasa. Berkenaan dengan hal tersebut merek dilihat dari daya pembedanya dibagi dalam dua kategori, yaitu kategori pertama adalah merek yang lemah daya pembedanya karena sifatnya yang deskriptif, dan kategori kedua adalah merek yang kuat daya pembedanya karena merupakan hasil imajinasi.

Dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 disebutkan, hak merek diberikan kepada pemilik merek terdaftar, dengan demikian jelas bahwa sistem merek yang dipakai di Indonesia adalah sistem konstitutif (aktif) sehingga pemilik merek terdaftar adalah sebagai pemegang hak merek. Pemilik merek terdaftar sebagai pemegang merek menggunakan merek itu sendiri atau memberi ijin pihak lain menggunakannya. Lebih lanjut dalam pasal 40 Undang-Undang Merek Nomor 15 Tahun 2001 dinyatakan bahwa hak merek dapat dialihkan haknya menurut ketentuan Undang-Undang.
Perlindungan hukum berdasarkan sistem first to file principle diberikan kepada pemegang hak merek terdaftar yang ‘beritikad baik’ bersifat preventif maupun represif.

Perlindungan hukum preventif dilakukan melalui pendaftaran merek, dan perlindungan hukum represif diberikan jika terjadi pelanggaran merek melalui gugatan perdata maupun tuntutan pidana dengan mengurangi kemungkinan penyelesaian alternatif diluar pengadilan.

III. Merek Terkenal
Persoalan pelanggaran dan perlindungan merek terkenal tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di negara lain. Misalnya, di Swedia (kasus Friskis och Svettles, 1991), Jerman (kasus Ungaro, 1991 atau Rochas, 1991), Inggris (Elderflower Champaqne, 1993) dan di Jepang (kasus Lorely, 1991). Selanjutnya, masih banyak kasus merek terkenal di Jepang (Baca Takeshi KIKUCHI, 1998:36-44).

Persoalan merek terkenal di Indonesia mempunyai keunikan tersendiri, karena pemilik merek terkenal yang sebenarnya justru digugat oleh pihak lokal, misalnya dalam kasus Piere Cardin dan Levi’s dan sebagainya (Ekbis, 1998). Penggunaan merek terkenal secara melawan hukum yang marak di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari mentala pengusaha lokal yang “potong kompas” dan tanpa usaha yang cukup untuk mengembangkan merek yang mereka buat sendiri. Idealnya pengusaha lokal memang harus memiliki merek sendiri dan mengembangkannya sehingga memiliki reputasi tinggi dan menjadi merek terkenal. Akan tetapi, hal tersebut tentu akan memakan waktu yang cukup lama (Ridwan Kharandy, 1992:2).

Merek dapat dibedakan dalam tiga jenis berdasarkan reputasi (reputation) dan kemahsyuran (renown) suatu merek, yaitu merek biasa (normal marks), merek terkenal (well-known marks) dan merek termahsyur (famous mark).
Merek biasa merupakan merek yang tergolong tidak mempunyai reputasi tinggi. Merek yang berderajat ’biasa’ ini dianggap kurang memberi pancaran simbolis gaya hidup baik dari segi pemakaian maupun teknologi. Masyarakat konsumen melihat merek tersebut kualitasnya rendah. Merek ini juga dianggap tidak memiliki draving power yang mampu memberi sentuhan keakraban dan kekuatan mitos (mythical power) yang sugestif kepada masyarakat konsumen, dan tidak mampu membentuk lapisan pasar dan pemakai (Yahya Harahap, 1996:80-81).

Merek terkenal merupakan merek yang memiliki reputasi tinggi. Merek ini memiliki reputasi tinggi. Merek ini memiliki kekuatan pancaran yang memukau dan menarik, sehingga jenis barang yang berada di bawah merek itu langsung menimbulkan sentuhan keakraban (familiar) dan ikatan mitos (mythical context) kepada segala laposan konsumen (Yahya Harahap, 1996:82).

Selanjutnya, merek termahsyur ialah merek yang sedemikian rupa mahsyurnya di seluruh dunia, sehingga mengakibatkan reputasinya digolongkan sebagai ’merek aristorkat dunia’ (Yahya Harahap, 1996:85).

Untuk membedakan antara merek yang terkenal dan merek yang termahsyur dalam kenyataannya sangatlah sulit. Kesulitan dalam penafsiran, mengakibatkan kesulitan menentukan batas dan ukuran diantara keduanya. Apabila merek termahsyur didasarkan pada ukuran ‘sangat terkenal dan sangat tinggi reputasinya’, maka pada dasarnya ukuran tersebut juga dimiliki oleh merek terkenal. Oleh karena itu, bagi yang mencoba membuat definisi merek termahsyur, kemudian besar akan terjebak dengan perumusan yang tumpang tindih dengan definisi merek terkenal (Yahya Harahap, 1996).
Sampai saat ini, sebenarnya tidak ada definisi merek terkenal yang dapat diterima secara luas. Upaya-upaya untuk mengiventarisasi unsur-unsur yang membentuk pengertian tersebut sampai saat ini belum memperoleh kesepakatan.

Oleh karena itu, jika ada pihak yang selalu mendesakkan pengertian yang dimilikinya atau diakuinya terhadap pihak lain, hal itu hanyalah semata-mata karena adanya kepentingan pemilik merek yang bersangkutan. Selama perundingan Putaran Uruguay di bidang TRIPs berlangsung sampai berakhir dan ditandatanganinya Persetujuan Pembentukan WTO, tidak satu negarapun mampu membuat dan mengusulkan definisi merek terkenal tersebut.

Agar suatu merek menjadi merek terkenal yang mampu menunjukkan jaminan kualitas atau reputasi suatu produk tertentu tidak mudah dan memerlukan waktu yang cukup lama serta biaya yang tidak sedikit pula. Coca-Cola merek minuman ringan dari Amerika Serikat memerlukan waktu 100 tahun, Toyota perlu waktu 30 tahun dan Mc Donald 40 tahun lebih (Ekbis, 1998). Jika suatu merek telah terkenal tentu menjadikan merek tersebut sebagai kekayaan perusahaan yang tinggi nilainya. Tetapi keterkenalan tersebut akan memancing produsen lain yang menjalankan perilaku bisnis curang untuk ‘‘membajak’’atau menirunya.

Kriteria Merek Terkenal
Dalam kenyataannya, setiap negara memberikan kriteria merek terkenal tidak sama atau berbeda dengan negara lain. Kriteria merek terkenal yang dianut oleh Amerika Serikat diatur dalam Pasal 43 (c) (1) Lannham Act yang diperbaharui. Dalam pasal tersebut ditentukan bahwa untuk menentukan apakah suatu merek mempunyai sifat daya pembeda dan terkenal, Pengadilan dapat mempertimbangkan faktor-faktor seperti (tetapi tidak terbatas pada) :
1. Derajat sifat yang tidak terpisahkan atau mempunyai sifat daya pembeda dari merek tersebut;
2. Jangka waktu dan ruang lingkup pemakaian merek yang berkaitan dengan barang atau jasa dari merek;
3. Jangka waktu dan ruang lingkup dari pengiklanan dan publisitas merek tersebut;
4. Ruang lingkup geografis dari daerah perdagangan tempat merek tersebut dipakai;
5. Jaringan perdagangan barang atau jasa dari merek yang dipakai;
6. Derajat pengakuan atas merek tersbeut dari arena perdagangan dan jaringan perdagangan dari pemilik merek dan larangan terhadap orang atas pemakaian merek tersebut dilaksanakan;
7. Sifat umum dan ruang lingkup pemakaian merek yang sama oleh pihak ketiga; dan
8. Keberadaan pendaftaran merek tersebut berdasarkan Undang-Undang Tanggal 3 Maret 1981 atau Undang-Undang Tanggal 20 Februari 1905 atau pendaftaran pertama.

Sebagaimana telah dijelaskan di muka, bahwa sampai saat ini belum ditemukan suatu definisi merek terkenal yang dapat diterima secara umum. Pasal 16 ayat (2) TRIPs hanya berhasil membuat kriteria sifat keterkenalan suatu merek, yaitu dengan memperhatikan faktor pengetahuan tentang merek dikalangan tertentu dalam masyarakat, termasuk pengetahuan negara peserta tentang kondisi merek yang bersangkutan, yang diperoleh dari hasil promosi merek tersebut.
Ketentuan Pasal 12 ayat (2) TRIPs tersebut kemudian diadopsi oleh Penjelasan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001.

Walaupun Indonesia juga belum berhasil membuat definisi merek terkenal dalam UU merek 2002 (UU Nomor 15 Tahun 2001) namun telah mencoba memberikan kriteria merek terkenal, selain memperhatikan pengetahuan umum masyarakat, penentuannya juga didasarkan pada reputasi merek yang bersangkutan yang diperoleh karena promosi secara gencar dan besar-besaran oleh pemiliknya, investasi di beberapa negara oleh pemiliknya, dan diserta dengan bukti-bukti pendaftaran merek tersebut di beberapa negara (jika ada). Apabila hal-hal di atas dianggap belum cukup, maka hakim dapat memerintahkan lembaga yang bersifat mandiri (independent) untuk melakukan survei guna memperoleh kesimpulan mengenai terkenal atau tidaknya merek yang bersangkutan.
Pola kemungkinan dilakukannya survei oleh suatu lembaga independen tentang keterkenalan suatu merek mengikuti pola yang dianut di Jerman, Perancis dan Italia. Di Jerman, pengadilan berpatokan pada survei pasar yang dilakukan secara obyektif. Apabila survei pasar membuktikan bahwa lebih dari 80% (delapan puluh persen) masyarakat mengenal dan mengetahui merek yang diselidiki maka merek tersebut adalah merek terkenal. S

elanjutnya di Perancis penentuan terkenal hanya didasarkan pada poll 20% (dua puluh persen) dari masyarakat yang mengetahui dan mengenal merek tersebut.
Kekurangan dalam persetujuan TRIPs tersebut dan timbulnya semacam antipati yang kurang menguntungkan mengakibatkan prakarsa dihidupkannya kembali jalur WIPO melalui pembuatan persetujuan baru di bidang merek yang dirancang khusus bagi Protection of Well Known Marks. Persetujuan tersebut sampai September 1998 masih dirundingkan, dan khusus dibuat untuk memberi jabaran rinci tentang merek terkenal saja (Bambang Kesowo, 1998:8).

Di dalam rancangan persetujuan yang dirundingkan tersebut, setidaknya akan muncul dua norma baru, yaitu (Bambang Kesowo, 1998:8).
1. Upaya memperjelas relevant sector of the public (kalangan masyarakat tertentu) dalam kaitannya dengan merek terkenal dengan mengajukan identifikasi dalam dua unsur penentu:
a. hanya terbatas pada kosumen potensial saja; dan
b. jaringan distribusi dan lingkungan bisnis yang biasa dengan merek terkenal pada umumnya.
2. Upaya penentuan elemen untuk membangun pengertian merek terkenal yang meliputi 12 (dua belas) unsur, yaitu :
a. jangka waktu, lingkup, dan wilayah penggunaan merek;
b. pasar;
c. tingkat daya pembeda;
d. kualitas nama baik (image);
e. luas sebaran pendaftaran di dunia;
f. sifat eksklusifitas pendaftaran yang dimiliki;
g. luas sebaran penggunaan di dunia;
h. tingakt eksklusifitas penggunaan di dunia;
i. nilai perdagangan dari merek yang bersangkutan di dunia;
j. rekor perlindungan hukum yang berhasil diraih;
k. hasil litigasi dalam penentuan terkenal tidaknya suatu merek;
l. intensitas pendaftaran merek lain yang mirip dengan merek yang bersangkutan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hubungan antara Variabel X dan Y dalam Meneliti

Berdasarkan fungsinya variabel dibagi atas tiga fungsi yakni variabel sebab dibedakan atas veriabel penghubung dan variable akibat. Hubungan antara variable X dan Y ada hubungannya melalui variabel penghubung. Semua yang dilakukan dalam perlakuan merupakan variabel bebas. Apakah faktor mempengaruhi variabel Y untuk beberapa variabel bebas dan bagaimana pengaruhnya terhadap independen atau variabel Y berpengaruh atau tidak. Terkait karena nilainya tergantung dari variabel X, besar kecilnya tergantung pada variabel Y. Variabel  penghubung tidak dapat diamati secara langsung tapi dapat bisa merasakan hasilnya yang telah diamati. Contohnya disertasi ibu Nirwana, ada variabel sumber daya fisik dan sumber daya manusia serta faktor budaya yang mempengaruhi keuangan, salah satu yang mempengaruhi seseorang untuk membayar adalah modal budaya orang bugis misalnya kejujuran, panutan usaha dan sebagainya. Unsur budaya lokal dalam mempengaruhi peternak dalam kemampuannya mengakses pem

Anatomi dan Fisiologi Organ Reproduksi Betina

Sapi betina tidak hanya memproduksi sel kelamin yang sangat penting untuk mengawali kehidupan turunan baru, tetapi ia menyediakan pula tempat beserta lingkungannya untuk perkembangan individu baru itu, dimulai dari waktu pembuahan ovum dan memeliharanya selama awal kehidupan. Tugas ini dilaksanakan oleh alat reproduksi primer dan sekunder. Alat reproduksi primer, yaitu ovaria memproduksi ovum dan hormon betina. Organ reproduksi sekunder yaitu terdiri atas tuba fallopi, uterus, cervix, vagina dan vulva. Fungsi alat-alat ini adalah menerima dan mempersatukan sel kelamin jantan dan betina, memelihara dan melahirkan individu baru. Seringkali kelenjar susu dihubungkan sebagai pelengkap alat kelamin, karena kelenjar ini berhubungan erat dengan reproduksi dan penting untuk memberi makan anaknya yang baru dilahirkan selama beberapa waktu.

PROSES RIGORMORTIS DAN KUALITAS DAGING

Otot semasa hidup ternak merupakan alat pergerakan tubuh yang tersusun atas unsur-unsur kimia C, H, dan O sehingga disebut sebagai energi kimia yang berfungsi sebagai energi mekanik (untuk pergerakan tubuh) ditandai dengan kemampuan berkontraksi dan berelaksasi Setelah ternak disembelih dan tidak ada lagi aliran darah dan respirasi maka otot sampai waktu tertentu tidak lagi berkontraksi. Atau dikatakan instalasi rigor mortis sudah terbentuk, ditandai dengan kekakuan otot (tidak ekstensibel).