Usaha peternakan mempunyai prospek
untuk dikembangkan karena tingginya permintaan akan produk peternakan. Usaha
peternakan juga memberi keuntungan yang cukup tinggi dan menjadi sumber
pendapatan bagi banyak masyarakat di perdesaaan di Indonesia. Namun demikian,
sebagaimana usaha lainnya, usaha peternakan juga menghasilkan limbah yang dapat
menjadi sumber pencemaran. Oleh karena itu, seiring dengan kebijakan otonomi,
maka pemgembangan usaha peternakan yang dapat meminimalkan limbah peternakan
perlu dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota untuk menjaga kenyamanan
permukiman masyarakatnya. Salah satu upaya kearah itu adalah dengan
memanfaatkan limbah peternakan sehingga dapat memberi nilai tambah bagi usaha
tersebut.
Negara kita adalah negara agraris,
di mana sebagian besar penduduknya mengandalkan sektor pertanian, namun
rata-rata kepemilikan penduduk atas lahan pertanian kurang dari 0,3 hektar,
terutama di pulau Jawa. Dari kondisi kepemilikan lahan yang sempit ditambah
dengan sistem pertanian yang masih mengandalkan input produksi tinggi
menyebabkan petani berada dalam lingkaran kemiskinan yang tiada putus-putusnya.
Petani dengan pendapatan rendah tidak akan mampu menabung, meningkatkan
pendidikan dan keterampilan apalagi meningkatkan investasinya guna meningkatkan
produksi.
Dalam presfektif ekonomi makro,
peternakan merupakan sumber pangan yang berkualitas, misalnya daging ataupun
susu merupakan bahan baku industri pengolahan pangan, di mana dapat
menghasilkan abon, dendeng, bakso, sosis, keju, mentega ataupun krim dan juga
dapat menghasilkan kerajinan-kerajinan kulit tanduk ataupun tulang. Jadi dari
semua kegiatan-kegiatan yang ada kaitannya dengan pertanian dan peternakan
dapat menciptakan lapangan kerja. Pembangunan pertanian dalam konteks otonomi
daerah yang disesuaikan dengan permintaan pasar global sehingga pengembangan
sistem pertanian terpadu sangatlah menjanjikan, meskipun tetap harus
memperhatikan aspek agro ekosistem wilayah dan sosio kultur masyarakatnya
(Sofyadi, 2005).
Upaya mengatasi limbah ternak yang
selama ini dianggap mengganggu karena menjadi sumber pencemaran lingkungan
perlu ditangani dengan cara yang tepat sehingga dapat memberi manfaat lain
berupa keuntungan ekonomis dari penanganan tersebut. Penanganan limbah ini diperlukan
bukan saja karena tuntutan akan lingkungan yang nyaman tetapi juga karena
pengembangan peternakan mutlak memperhatikan kualitas lingkungan, sehingga
keberadaannya tidak menjadi masalah bagi masyarakat di sekitarnya.
Dampak Limbah Peternakan Bagi
Lingkungan
Salah satu akibat dari pencemaran
air oleh limbah ternak ruminansia ialah meningkatnya kadar nitrogen. Senyawa
nitrogen sebagai polutan mempunyai efek polusi yang spesifik, dimana
kehadirannya dapat menimbulkan konsekuensi penurunan kualitas perairan sebagai
akibat terjadinya proses eutrofikasi, penurunan konsentrasi oksigen terlarut
sebagai hasil proses nitrifikasi yang terjadi di dalam air yang dapat
mengakibatkan terganggunya kehidupan biota air (Farida, 1978).
Hasil penelitian dari limbah cair
Rumah Pemotongan Hewan Cakung, Jakarta yang dialirkan ke sungai Buaran
mengakibatkan kualitas air menurun, yang disebabkan oleh kandungan sulfida dan
amoniak bebas di atas kadar maksimum kriteria kualitas air. Selain itu adanya
Salmonella spp. yang membahayakan kesehatan manusia.
Tinja dan urine dari hewan yang
tertular dapat sebagai sarana penularan penyakit, misalnya saja penyakit
anthrax melalui kulit manusia yang terluka atau tergores. Spora anthrax dapat
tersebar melalui darah atau daging yang belum dimasak yang mengandung spora.
Kasus anthrax sporadik pernah terjadi di Bogor tahun 2001 dan juga pernah
menyerang Sumba Timur tahun 1980 dan burung unta di Purwakarta tahun 2000
(Soeharsono, 2002).
Menurut sebuah laporan terbaru
yang diterbitkan oleh Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO), sektor
peternakan menghasilkan emisi gas rumah kaca yang setara dengan 18 persen CO2,
jumlah ini lebih banyak dari gabungan seluruh transportasi di seluruh dunia.
Sektor ini juga menjadi sumber utama dari kerusakan tanah dan pencemaran air
bersih.
Henning Steinfeld adalah Ketua FAO
untuk Informasi dan Kebijakan Peternakan, serta penulis senior dari laporan:
“Ternak merupakan salah satu kontributor paling signifikan bagi masalah
lingkungan yang paling serius saat ini. Penanganan darurat diperlukan untuk
memperbaiki keadaan.”
Dengan meningkatnya kesejahteraan,
penduduk dunia memakan lebih banyak daging dan produk susu setiap tahunnya.
Produksi daging global diproyeksikan lebih dari dua kali lipat, dari 229 juta
ton pada tahun 1999/2001 menjadi 465 juta ton pada tahun 2050, sementara
konsumsi susu diperkirakan naik hingga 580-1043 juta ton.
Sektor peternakan tumbuh lebih cepat dari sektor pertanian
lainnya. Sektor ini memberikan mata pencaharian bagi sekitar 1,3 miliar orang
dan memberikan kontribusi sekitar 40 persen terhadap pertanian global. Banyak
petani miskin di negara-negara berkembang yang masih menganggap ternak sebagai
sumber energi yang penting dan sumber pupuk organik untuk tanaman mereka.
Ternak sekarang menggunakan 30
persen dari tanah di seluruh permukaan Bumi yang pada umumnya berupa padang
rumput permanen tetapi juga menempati 33 persen dari lahan subur di seluruh
dunia yang digunakan untuk menghasilkan makanan ternak. Pada saat hutan dibabat
untuk membuat padang rumput baru, peternakan menjadi penyebab utama
penggundulan hutan, khususnya di Amerika Latin dimana sekitar 70 persen dari
hutan Amazon berubah menjadi gersang.
Industri peternakan adalah sektor
utama yang menyebabkan berkurangnya persediaan air bersih di Bumi, juga
penyumbang pencemaran air, euthropication, dan kerusakan terumbu karang. Zat
pencemar utama dari peternakan adalah antibiotik, hormon, bahan kimia dari
pengulitan hewan, pupuk, dan pestisida yang disemprot ke tanaman untuk
menghasilkan pakan ternak. Padang rumput yang membentang luas
mengganggu siklus air serta mengurangi peresapan air tanah. Sedangkan sejumlah
sumber air yang penting disedot untuk irigasi untuk memproduksi makanan ternak.
Jumlah hewan menyusui dan hewan yang
diambil dagingnya sekarang menempati sekitar 20 persen dari seluruh hewan di
Bumi. Kehadiran ternak yang menempati area tanah yang luas serta permintaan
terhadap hasil pangan yang besar juga menyumbang kehilangan keanekaragaman
hayati. 15 dari 24 ekosistem penting dinilai sudah tidak layak lagi, dan hewan
ternak dikenal sebagai pengrusak ekosistem itu.
Penanganan Limbah Peternakan
Laporan yang dikeluarkan oleh
bantuan lembaga multi Peternakan, Inisiatif Lingkungan dan Perkembangan (LEAD),
mengungkapkan secara gamblang tentang biaya lingkungan yang harus dibayar
akibat dari sektor peternakan dan menetapkan sejumlah cara untuk memperbaiki
situasi, termasuk:
Degradasi tanah – mengontrol akses
dan menghilangkan rintangan di padang rumput biasa. Menggunakan metode
konservasi tanah dan silvopastoralism, juga melarang ternak di daerah yang
sensitif; membayar ganti rugi lingkungan atas penggunaan tanah oleh peternakan
sebagai upaya untuk memperbaiki degradasi tanah.
Atmosfer dan iklim – menambah
efisiensi produksi ternak dan pertanian pangan. Mengurangi pola makan hewani
untuk mengurangi emisi metana dan membuat tanaman biogas inisiatif untuk
mendaur ulang pupuk.
Air – memperbaiki efisiensi sistem
irigasi. Mengenakan harga atau pajak tinggi untuk air yang digunakan untuk
peternakan yang berskala besar di dekat kota.
Ini dan pertanyaan yang berhubungan
telah menjadi fokus diskusi antara FAO dan mitranya untuk memetakan para
produsen ternak dalam pertemuan global di Bangkok. Diskusi ini juga termasuk
risiko kesehatan rakyat akibat pertumbuhan sektor ternak yang bertambah semakin
cepat serta penyakit pada hewan yang juga mempengaruhi manusia.
Limbah peternakan dapat dimanfaatkan
untuk berbagai kebutuhan, apalagi limbah tersebut dapat diperbaharui
(renewable) selama ada ternak. Limbah ternak masih mengandung nutrisi atau zat
padat yang potensial untuk dimanfaatkan. Limbah ternak kaya akan nutrient (zat
makanan) seperti protein, lemak, bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN), vitamin,
mineral, mikroba atau biota, dan zat-zat yang lain (unidentified subtances).
Limbah ternak dapat dimanfaatkan untuk bahan makanan ternak, pupuk organik,
energi dan media pelbagai tujuan (Sihombing, 2002).
Pemanfaatan
Untuk Pakan dan Media Cacing Tanah
Sebagai pakan ternak, limbah ternak
kaya akan nutrien seperti protein, lemak BETN, vitamin, mineral, mikroba dan
zat lainnya. Ternak membutuhkan sekitar 46 zat makanan esensial agar dapat
hidup sehat. Limbah feses mengandung 77 zat atau senyawa, namun didalamnya
terdapat senyawa toksik untuk ternak. Untuk itu pemanfaatan limbah ternak
sebagai makanan ternak memerlukan pengolahan lebih lanjut. Tinja ruminansia
juga telah banyak diteliti sebagai bahan pakan termasuk penelitian limbah
ternak yang difermentasi secara anaerob.
Penggunaan feses sapi untuk media
hidupnya cacing tanah, telah diteliti menghasilkan biomassa tertinggi
dibandingkan campuran feces yang ditambah bahan organik lain, seperti feses 50%
+ jerami padi 50%, feses 50% + limbah organik pasar 50%, maupun feses 50% + isi
rumen 50% (Farida, 2000).
Pemanfaatan
Sebagai Pupuk Organik
Pemanfaatan limbah usaha peternakan
terutama kotoran ternak sebagai pupuk organik dapat dilakukan melalui
pemanfaatan kotoran tersebut sebagai pupuk organik. Penggunaan pupuk kandang
(manure) selain dapat meningkatkan unsur hara pada tanah juga dapat
meningkatkan aktivitas mikrobiologi tanah dan memperbaiki struktur tanah
tersebut.
Kotoran ternak dapat juga dicampur
dengan bahan organik lain untuk mempercepat proses pengomposan serta untuk
meningkatkan kualitas kompos tersebut .
Pemanfaatan
Untuk Gasbio
Permasalahan limbah ternak,
khususnya manure dapat diatasi dengan memanfaatkan menjadi bahan yang memiliki
nilai yang lebih tinggi. Salah satu bentuk pengolahan yang dapat dilakukan
adalah menggunakan limbah tersebut sebagai bahan masukan untuk menghasilkan
bahan bakar gasbio. Kotoran ternak ruminansia sangat baik untuk digunakan
sebagai bahan dasar pembuatan biogas. Ternak ruminansia mempunyai sistem
pencernaan khusus yang menggunakan mikroorganisme dalam sistem pencernaannya
yang berfungsi untuk mencerna selulosa dan lignin dari rumput atau hijauan
berserat tinggi. Oleh karena itu pada tinja ternak ruminansia, khususnya sapi
mempunyai kandungan selulosa yang cukup tinggi. Berdasarkan hasil analisis
diperoleh bahwa tinja sapi mengandung 22.59% sellulosa, 18.32% hemi-sellulosa,
10.20% lignin, 34.72% total karbon organik, 1.26% total nitrogen, 27.56:1 ratio
C:N, 0.73% P, dan 0.68% K .
Gasbio adalah campuran beberapa gas,
tergolong bahan bakar gas yang merupakan hasil fermentasi dari bahan organik
dalam kondisi anaerob, dan gas yang dominan adalah gas metan (CH4) dan gas
karbondioksida (CO2) (Simamora, 1989). Gasbio memiliki nilai kalor yang cukup
tinggi, yaitu kisaran 4800-6700 kkal/m3, untuk gas metan murni (100 %)
mempunyai nilai kalor 8900 kkal/m3. Produksi gasbio sebanyak 1275-4318 I dapat
digunakan untuk memasak, penerangan, menyeterika dan mejalankan lemari es untuk
keluarga yang berjumlah lima orang per hari.
Pembentukan gasbio dilakukan oleh
mikroba pada situasi anaerob, yang meliputi tiga tahap, yaitu tahap hidrolisis,
tahap pengasaman, dan tahap metanogenik. Pada tahap hidrolisis terjadi
pelarutan bahan-bahan organik mudah larut dan pencernaan bahan organik yang
komplek menjadi sederhana, perubahan struktur bentuk primer menjadi bentuk
monomer. Pada tahap pengasaman komponen monomer (gula sederhana) yang terbentuk
pada tahap hidrolisis akan menjadi bahan makanan bagi bakteri pembentuk asam.
Produk akhir dari gula-gula sederhana pada tahap ini akan dihasilkan asam
asetat, propionat, format, laktat, alkohol, dan sedikit butirat, gas
karbondioksida, hidrogen dan amoniak.
Model pemroses gas bio yang banyak
digunakan adalah model yang dikenal sebagai fixed-dome. Model ini banyak
digunakan karena usia pakainya yang lama dan daya tampungnya yang cukup besar.
Meskipun biaya pembuatannya memerlukan biaya yang cukup besar.
Untuk mengatasi mahalnya pembangunan
pemroses biogas dengan model feixed-dome, tersebut sebuah perusahaan di Jawa
Tengah bekerja sama dengan Balai Pengkajian dan Penerapan Teknolgi Ungaran
mengembangkan model yang lebih kecil untuk 4-5 ekor ternak, yang siap pakai,
dan lebih murah karena berbahan plastic yang dipendam di dalam tanah.
Di perdesaan, gasbio dapat digunakan
untuk keperluan penerangan dan memasak sehingga dapat mengurangi ketergantungan
kepada minyak tanah ataupun listrik dan kayu bakar. Bahkan jika dimodifikasi
dengan peralatan yang memadai, biogas juga dapat untuk menggerakkan mesin.
Pemanfaatan
Lainnya
Selain dimanfaatkan untuk pupuk, bahan
pakan, atau gasbio, kotoran ternak juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar
dengan mengubahnya menjadi briket dan kemudian dijemur/dikeringkan. Briket ini
telah dipraktekkan di India dan dapat mengurangi kebutuhan akan kayu bakar.
Pemanfaatan lain adalah penggunaan
urin dari ternak untuk campuran dalam pembuatan pupuk cair maupun penggunaan
lainnya.
Kesimpulan
1.
Limbah usaha peternakan berpeluang
mencemari lingkungan jika tidak dimanfaatkan. Namun memperhatikan komposisinya,
kotoran ternak masih dapat dimanfaatkan sebagai bahan pakan, media pertumbuhan
cacing, pupuk organik, gas bio, dan briket energi.
2.
Pemanfaatan limbah ternak akan
mengurangi tingkat pencemaran lingkungan baik pencemaran air, tanah, maupun
udara. Pemanfaatan tersebut juga menghasilkan nilai tambah yang bernilai
ekonomis.
DAFTAR PUSTAKA
Farida
E. 2000. Pengaruh Penggunaan Feses Sapi dan Campuran Limbah Organik Lain
Sebagai Pakan atau Media Produksi Kokon dan Biomassa Cacing Tanah Eisenia
foetida savigry. Skripsi Jurusan Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak. IPB, Bogor.
Sofyadi
Cahyan, 2003. Konsep Pembangunan Pertanian dan Peternakan Masa Depan. Badan
Litbang Departemen Pertanian. Bogor.
Sihombing
D T H. 2000. Teknik Pengelolaan Limbah Kegiatan/Usaha Peternakan. Pusat
Penelitian Lingkungan Hidup Lembaga Penelitian, Institut Pertanian Bogor
Soehadji,
1992. Kebijakan Pemerintah dalam Industri Peternakan dan Penanganan Limbah
Peternakan. Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian. Jakarta.
Widodo,
Asari, dan Unadi, 2005. Pemanfaatan Energi Biogas Untuk Mendukung Agribisnis Di
Pedesaan. Publikasi Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian Serpong.
Komentar
Posting Komentar