Mengenal Tradisi Maulid Nabi Muhammad SAW di Dusun Mattirobulu hingga Maudu Lompoa Cikoang Sulawesi Selatan
Maulid Nabi sebagai peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW pada 12 Rabiul awal dalam kalender hijriah yaitu jatuh pada 9 November 2019, merupakan salah satu hari keagamaan bagi umat islam.
Setiap daerah memiliki budaya dan tradisi dalam memperingati Maulid Nabi. Prosesi peringatan hari lahirnya Nabi Muhammad SAW diisi dengan berbagai kegiatan keagamaan dan budaya di setiap daerah. Seperti apa saat perayaan Maulid Nabi di Dusun Mattiro Bulu hingga Maudu Lompoa (Maulid besar) di Desa Cikoang Kabupaten Takalar Provinsi Sulawesi Selatan? Berikut Ulasannya.
Dahulu Maudu Lompoa dipelihara oleh Sayyid Al’-Aidid. Diperingati setiap tahun di Desa Cikoang, Kecamatan Mangarabombang, Kabupaten Takalar Provinsi Sulawesi Selatan.
Sebelum Maudu Lompoa di Cikoang, peringatan maulid di setiap dusun atau desa di Kecamatan Mangara Bombang dilaksanakan malam 12 rabiul awal hingga 28 Rabiul awal. Rentang waktu selama sebulan penuh hingga puncak acara di Cikoang.
Persiapan perayaan Maudu Lompoa memerlukan waktu 40 hari sebelum acara puncak. Persiapan diawali dengan jene-jene Sappara (mandi pada bulan Syafar) oleh masyarakat Cikoang yang dipimpin sesepuh atau guru adat. Persiapan ayam kampung yang akan dihidangkan dikurung selama 40 hari ditempat bersih yang diberi makan beras bagus. Prosesi angnganang bakul sesaji dari daun lontar. Menjemur padi dalam lingkaran pagar, dilanjutkan adengka ase atau menumbuk padi dengan lesung. Lalu mengupas kelapa utuh yang ditanam sendiri.
Dusun Mattirobulu Desa Pattopakang selenggarakan Maulid Nabi pada Sabtu, 9 November 2019 atau bertepatan 12 rabiul awal. Menurut salah satu warga Daeng Nyampa (30) mengatakan, pembukaan Maulid di Kampung Parang Baddo yang dilaksanakan pada malam 12 rabiul awal, yang diadakan oleh para sayyid. Dan keesokan harinya ada dua perkumpulan atau kelompok Maulid yang diperingati di Dusun Mattiro Bulu ini.
Tak peduli dengan besar kecil perayaan itu, yang jelas harus dilakukan. Tampak bakul maulid dan perahu yang dihiasi telur, bunga, uang dan
lainnya. Ada makna dibalik proses pembuatan hingga menjadi bakul dan perahu maulid.
Bakul maulid yang berisi beras dan satu ekor ayam. Sedangkan perahu yang dijejer didepan rumah warga, menandakan bahwa seseorang yang telah melangsungkan pernikahan (Pengantin baru, Red). Setelah proses tradisi maulid usai. Pihak perempuan yang akan membuat perahu maulid tersebut.
Kemudian perahu tersebut dibawa ke rumah mempelai laki-laki atau mertua perempuan.
“Pada umumnya menu maulid menggunakan songkolo yang dilumuri dengan santan jadilah songkolo kaddo' minyak. Namun di Dusun Mattiro Bulu ini, menggunggunakan kaddo karring dan ayam sebagai bahan utama dalam membuat bakul maulid. Telur, Bunga, dan lainnya merupakan hiasan meski punya juga makna tersendiri,” ujarnya Daeng Nyampa.
Satu bakul maulid didalamnya berisi ayam dan kaddo’ karring memiliki makna yang sangat berarti bagi warga Dusun Mattiro Bulu. Ayam yang digoreng dengan menggunakan minyak kelapa tanpa ada bumbu. Ayam yang digunakan khusus ayam kampung, sebelum dipotong ayam di kandangkan dulu selama satu bulan. Kaddo' Karring atau beras yang dimasak dengan tidak terlalu masak lalu dikeringkan.
Andi Ali salah satu orang yang dituakan di Dusun tersebut mengatakan beras dan ayam sebagai bentuk lambang kesyukuran dan sumber kehidupan. Empat liter beras untuk satu orang dan satu ekor ayam bermakna satu nyawa. Diibaratkan dalam satu rumah berpenghuni lima orang berarti ada lima nyawa dalam satu bakul.
Empat liter beras ini memiliki makna, setiap manusia terdiri atas empat segi atau kejadian manusia terdiri dari empat asal, yaitu tanah, air, angin dan api. Berbagai laku dan kelengkapan dalam ritual ini memiliki makna mendalam, yang menggambarkan proses awal yang melatarbelakangi Maulid di masa lalu.
Adapun cara membuat satu bakul maulid yakni, ayam terlebih dahulu dibungkus daun pisang, kemudian dimasukkan kaddo karring didalam bakul. Ayam dengan bungkusan daun pisang tersebut berada ditengah-tengah kaddo karring.
Warna warni maulid uang, telur, bunga untuk mempercantik. Karena pada hakikatnya semua suka keindahan.
"Setahun sekali diadakan maulid, bahkan hampir disemua daerah khususnya di Sulsel merayakannya. Selama satu tahun, Maulid dalam bentuk sedekah sebagai bentuk kesyukuran kepada Allah SWT dan kecintaan kepada Rasulullah," ujar Andi Ali ketika ditemui saat melakukan persiapan maulid, Sabtu 9 November 2019.
Ali menambahkan, dalam satu bakul Maulid ongkosnya terbilang mahal. Ciri khas warga disini perayaan maulid identik dengan menggunakan perahu yang dihiasi dengan beragam pernak-pernik, seperti telur, baju, kain dan lainnya. Perahu melambangkan dunia, perahu mengarungi kehidupan dunia dengan sabar dan ikhlas. Perahu Maulid yang berisikan minimal 250 butir telur, kain, pakaian, ember, dan pernak-pernik lainnya.
Perayaan Maulid ada yang dilaksanakan malam hari atau siang, sebab masyarakat ada yang beranggapan bahwa Nabi lahir dimalam hari atau siang hari. Sehingga waktu yang dilakukan berbeda. Selama rabiul awal peringatan Maulid dilaksanaan dengan hari yang berbeda selama sebulan dan berakhir Maudu Lompoa di Cikoang.
“Tujuan dari Maulid ini memperingati kelahiran Rasulullah dan kejadian Nur Muhammad,” jelas Andi Ali.
Ritual A’ Rate dalam Maulid Nabi Muhammad SAW
Perayaan Maulid telah menjadi kewajiban warga setempat setiap tahun. Selain sebagai tanda syukur atas kelahiran Nabi Muhammad SAW, juga sebagai ungkapan tanda syukur atas rezeki yang mereka dapatkan dari setahun lalu.
Proses inti dari perayaan maulid yakni zikkiri’ bisa diartikan berdzikir, meski berisi pembacaan syair puja-puji kepada Nabi Muhammad SAW. Juga pembacaan Sura’ A’ Rate, yang menceritakan kelahiran Nabi hingga masa Islam di Cikoang yang dibawa Sayyid Jalaluddin.
Dalam ritual A’ Rate dilakukan oleh Angrong Guru (Maha guru) sebanyak 5 hingga 10 orang, bersama imam dusun. Tuang atau Sayyid menyanyikan dan melantunkan A’ Rate paling lama dua jam. Setelah selesai barulah dibagikan telur dan bakul Maulid kepada Maha Guru dan tamu.
Setelah A’ Rate akan ada perebutan telur dan bakul maulid diacara tersebut. Bukan hanya sehari, selama 18 hari perayaan khusus di Kecamatan Manggarombang Kab. Takalar yang memiliki 12 Desa, nantinya pusat perayaan Maulid di Cikoang Takalar.
Menurut Andi Ali, perayaan ini bukan adat tapi ibadah. Memperingati kelahiran nabi dan kejadian Nur Muhammad sebagai bentuk kecintaan. Kejadian disini adalah mengingatkan dan menceritakan kembali bagaimana Rasulullah dilahirkan hingga mendapatkan wahyu dari Allah SWT.
Ritual A’ Rate perlu satu minggu persiapan dan penghulunya adalah sayyid. A’ Rate sebagai bentuk kecintaan dengan nabi yaitu dengan bersalawat dan mulid sebagai bentuk sedekah.
Sejarah Maulid Nabi hingga Maudu Lompoa di Desa Cikoang Kabupaten Takalar Sulawesi Selatan
Perayaan Maudu Lompoa di Cikoang sudah sejak ratusan tahun silam. Tepatnya sejak 1621, ketika ulama besar dari Aceh bernama Sayyid Jalaluddin bin Muhammad Wahid Al’Aidid datang ke daerah ini untuk penyebaran agama Islam. Sosok tersebut dipercaya keturunan Nabi Muhammad SAW ke 27.
Perpaduan Maulid Sayyed dan Karaeng. Status sosial Sayyid dan Sayyid Karaeng. Karaeng menjadi bagian dari kerajaan Gowa.
Saat itu I Bunrang dan I Danda merupakan kesatria dari Cikoang melihat sebuah benda berbentuk kapal laut besar lewat di sebelah utara Tompo’tanah. Kemudian kapal besar tersebut berubah bentuk menjadi sebuah benda yang mengeluarkan cahaya. Keduanya mendekat dan melihat wujud seorang manusia duduk bersila mengenakan jubah diatas sajadah.
Akhirnya Sayyid Djalaluddin Al'Aidid diajak ke perahu I Danda dan I Bunrang menuju tepi sungai Cikoang. Sayyid Djalaluddin kemudian menjadikan I Danda dan I Bunrang bekerja mengabdi kepada beliau. Seiring waktu, Sayyid Djalaluddin Al'Aidid mengutus I Danda dan I Bunrang menjemput istrinya yaitu I Acara’ Daeng Tamami Binti Sultan Abdul Kadir Alauddin di Balla Lompoa Gowa.
Akhirnya Sayyid Djalaluddin Al'Aidid menetap di Cikoang dan memimpin jamaah masyarakat desa Cikoang. Tradisi Mandi Syafar dilakukan pertama kali oleh Sayyid Djalaluddin Al'Aidid pada 10 Syafar 1025 H yaitu saat memperingati hari lahirnya Nabi Muhammad yang jatuh pada tanggal al 1025 Hijriah atau 11 November 1605 Masehi.
Istri Jalaluddin adalah anak dari Abdul Kadir, keponakan Sombayya ri Gowa. Memiliki 2 orang anak yang bernama Sayid Umar dan Sayid Syahbuddin. Mereka tinggal di Cikoang selama 3 tahun. Kemudian melanjutkan perjalanannya sampai di Selayar.
Istri dan kedua anak Jalaluddin tinggal di Desa Cikoang yaitu Sayid Umar dan Sayid Syahbuddin, yang memiliki keturunan di Desa Cikoang sampai saat ini. Keturunan Sayid Cikoang yang laki-laki disebut Sayid, dan keturunan perempuan disebut Syarifah.
Desa Cikoang dihuni sekitar 2.444 penduduk, dengan jumlah KK tercatat sebanyak 574. Sekitar 70 rumah yang berasal dari keturunan Sayid. Kebanyakan Sayid melakukan pekerjaan dengan membuat garam, bercocok tanam, mengelola tambak ikan dan sebagai nelayan.
Di mulai zaman Sayyid inilah Maudu Lompa rutin dan terlembagakan dalam ritual kerajaan setempat. Apalagi ketika pengaruh Sayyid, selalu diartikan sebagai “keturunan Nabi” di Cikoang ini makin kuat dari segi pemerintahan dan keagamaan.
Dari zaman Sayyid ini hingga sekarang perayaan Maulid terus dilakukan. Inilah yang membuat Desa dikenal sebagai ‘Kampung Maulid’. Dalam perayaan Maudu Lompoa, warga Cikoang dan mengarak replika perahu Pinisi yang dihias beraneka ragam kain sarung dan dipamerkan di tepi sungai Cikoang.
Di dalam perahu, disimpan makanan nasi ketan khas Makassar (Songkolo) dan dihias telur berwarna-warni. Sajian makanan ini melambangkan bahtera yang membawa berkah bagi masyarakat Cikoang. Setelah prosesi arak selesai, makanan ini dipersembahkan dalam puncak Maudu Lompoa di baruga, yang dipimpin oleh pemimpin ritual atau penghulu yang biasa disebut Sayyid.
Setiap daerah memiliki budaya dan tradisi dalam memperingati Maulid Nabi. Prosesi peringatan hari lahirnya Nabi Muhammad SAW diisi dengan berbagai kegiatan keagamaan dan budaya di setiap daerah. Seperti apa saat perayaan Maulid Nabi di Dusun Mattiro Bulu hingga Maudu Lompoa (Maulid besar) di Desa Cikoang Kabupaten Takalar Provinsi Sulawesi Selatan? Berikut Ulasannya.
Dahulu Maudu Lompoa dipelihara oleh Sayyid Al’-Aidid. Diperingati setiap tahun di Desa Cikoang, Kecamatan Mangarabombang, Kabupaten Takalar Provinsi Sulawesi Selatan.
Sebelum Maudu Lompoa di Cikoang, peringatan maulid di setiap dusun atau desa di Kecamatan Mangara Bombang dilaksanakan malam 12 rabiul awal hingga 28 Rabiul awal. Rentang waktu selama sebulan penuh hingga puncak acara di Cikoang.
Persiapan perayaan Maudu Lompoa memerlukan waktu 40 hari sebelum acara puncak. Persiapan diawali dengan jene-jene Sappara (mandi pada bulan Syafar) oleh masyarakat Cikoang yang dipimpin sesepuh atau guru adat. Persiapan ayam kampung yang akan dihidangkan dikurung selama 40 hari ditempat bersih yang diberi makan beras bagus. Prosesi angnganang bakul sesaji dari daun lontar. Menjemur padi dalam lingkaran pagar, dilanjutkan adengka ase atau menumbuk padi dengan lesung. Lalu mengupas kelapa utuh yang ditanam sendiri.
Dusun Mattirobulu Desa Pattopakang selenggarakan Maulid Nabi pada Sabtu, 9 November 2019 atau bertepatan 12 rabiul awal. Menurut salah satu warga Daeng Nyampa (30) mengatakan, pembukaan Maulid di Kampung Parang Baddo yang dilaksanakan pada malam 12 rabiul awal, yang diadakan oleh para sayyid. Dan keesokan harinya ada dua perkumpulan atau kelompok Maulid yang diperingati di Dusun Mattiro Bulu ini.
Tak peduli dengan besar kecil perayaan itu, yang jelas harus dilakukan. Tampak bakul maulid dan perahu yang dihiasi telur, bunga, uang dan
lainnya. Ada makna dibalik proses pembuatan hingga menjadi bakul dan perahu maulid.
Bakul maulid yang berisi beras dan satu ekor ayam. Sedangkan perahu yang dijejer didepan rumah warga, menandakan bahwa seseorang yang telah melangsungkan pernikahan (Pengantin baru, Red). Setelah proses tradisi maulid usai. Pihak perempuan yang akan membuat perahu maulid tersebut.
Kemudian perahu tersebut dibawa ke rumah mempelai laki-laki atau mertua perempuan.
“Pada umumnya menu maulid menggunakan songkolo yang dilumuri dengan santan jadilah songkolo kaddo' minyak. Namun di Dusun Mattiro Bulu ini, menggunggunakan kaddo karring dan ayam sebagai bahan utama dalam membuat bakul maulid. Telur, Bunga, dan lainnya merupakan hiasan meski punya juga makna tersendiri,” ujarnya Daeng Nyampa.
Satu bakul maulid didalamnya berisi ayam dan kaddo’ karring memiliki makna yang sangat berarti bagi warga Dusun Mattiro Bulu. Ayam yang digoreng dengan menggunakan minyak kelapa tanpa ada bumbu. Ayam yang digunakan khusus ayam kampung, sebelum dipotong ayam di kandangkan dulu selama satu bulan. Kaddo' Karring atau beras yang dimasak dengan tidak terlalu masak lalu dikeringkan.
Andi Ali salah satu orang yang dituakan di Dusun tersebut mengatakan beras dan ayam sebagai bentuk lambang kesyukuran dan sumber kehidupan. Empat liter beras untuk satu orang dan satu ekor ayam bermakna satu nyawa. Diibaratkan dalam satu rumah berpenghuni lima orang berarti ada lima nyawa dalam satu bakul.
Empat liter beras ini memiliki makna, setiap manusia terdiri atas empat segi atau kejadian manusia terdiri dari empat asal, yaitu tanah, air, angin dan api. Berbagai laku dan kelengkapan dalam ritual ini memiliki makna mendalam, yang menggambarkan proses awal yang melatarbelakangi Maulid di masa lalu.
Adapun cara membuat satu bakul maulid yakni, ayam terlebih dahulu dibungkus daun pisang, kemudian dimasukkan kaddo karring didalam bakul. Ayam dengan bungkusan daun pisang tersebut berada ditengah-tengah kaddo karring.
Warna warni maulid uang, telur, bunga untuk mempercantik. Karena pada hakikatnya semua suka keindahan.
"Setahun sekali diadakan maulid, bahkan hampir disemua daerah khususnya di Sulsel merayakannya. Selama satu tahun, Maulid dalam bentuk sedekah sebagai bentuk kesyukuran kepada Allah SWT dan kecintaan kepada Rasulullah," ujar Andi Ali ketika ditemui saat melakukan persiapan maulid, Sabtu 9 November 2019.
Ali menambahkan, dalam satu bakul Maulid ongkosnya terbilang mahal. Ciri khas warga disini perayaan maulid identik dengan menggunakan perahu yang dihiasi dengan beragam pernak-pernik, seperti telur, baju, kain dan lainnya. Perahu melambangkan dunia, perahu mengarungi kehidupan dunia dengan sabar dan ikhlas. Perahu Maulid yang berisikan minimal 250 butir telur, kain, pakaian, ember, dan pernak-pernik lainnya.
Perayaan Maulid ada yang dilaksanakan malam hari atau siang, sebab masyarakat ada yang beranggapan bahwa Nabi lahir dimalam hari atau siang hari. Sehingga waktu yang dilakukan berbeda. Selama rabiul awal peringatan Maulid dilaksanaan dengan hari yang berbeda selama sebulan dan berakhir Maudu Lompoa di Cikoang.
“Tujuan dari Maulid ini memperingati kelahiran Rasulullah dan kejadian Nur Muhammad,” jelas Andi Ali.
Ritual A’ Rate dalam Maulid Nabi Muhammad SAW
Perayaan Maulid telah menjadi kewajiban warga setempat setiap tahun. Selain sebagai tanda syukur atas kelahiran Nabi Muhammad SAW, juga sebagai ungkapan tanda syukur atas rezeki yang mereka dapatkan dari setahun lalu.
Proses inti dari perayaan maulid yakni zikkiri’ bisa diartikan berdzikir, meski berisi pembacaan syair puja-puji kepada Nabi Muhammad SAW. Juga pembacaan Sura’ A’ Rate, yang menceritakan kelahiran Nabi hingga masa Islam di Cikoang yang dibawa Sayyid Jalaluddin.
Dalam ritual A’ Rate dilakukan oleh Angrong Guru (Maha guru) sebanyak 5 hingga 10 orang, bersama imam dusun. Tuang atau Sayyid menyanyikan dan melantunkan A’ Rate paling lama dua jam. Setelah selesai barulah dibagikan telur dan bakul Maulid kepada Maha Guru dan tamu.
Setelah A’ Rate akan ada perebutan telur dan bakul maulid diacara tersebut. Bukan hanya sehari, selama 18 hari perayaan khusus di Kecamatan Manggarombang Kab. Takalar yang memiliki 12 Desa, nantinya pusat perayaan Maulid di Cikoang Takalar.
Menurut Andi Ali, perayaan ini bukan adat tapi ibadah. Memperingati kelahiran nabi dan kejadian Nur Muhammad sebagai bentuk kecintaan. Kejadian disini adalah mengingatkan dan menceritakan kembali bagaimana Rasulullah dilahirkan hingga mendapatkan wahyu dari Allah SWT.
Ritual A’ Rate perlu satu minggu persiapan dan penghulunya adalah sayyid. A’ Rate sebagai bentuk kecintaan dengan nabi yaitu dengan bersalawat dan mulid sebagai bentuk sedekah.
Sejarah Maulid Nabi hingga Maudu Lompoa di Desa Cikoang Kabupaten Takalar Sulawesi Selatan
Perayaan Maudu Lompoa di Cikoang sudah sejak ratusan tahun silam. Tepatnya sejak 1621, ketika ulama besar dari Aceh bernama Sayyid Jalaluddin bin Muhammad Wahid Al’Aidid datang ke daerah ini untuk penyebaran agama Islam. Sosok tersebut dipercaya keturunan Nabi Muhammad SAW ke 27.
Perpaduan Maulid Sayyed dan Karaeng. Status sosial Sayyid dan Sayyid Karaeng. Karaeng menjadi bagian dari kerajaan Gowa.
Saat itu I Bunrang dan I Danda merupakan kesatria dari Cikoang melihat sebuah benda berbentuk kapal laut besar lewat di sebelah utara Tompo’tanah. Kemudian kapal besar tersebut berubah bentuk menjadi sebuah benda yang mengeluarkan cahaya. Keduanya mendekat dan melihat wujud seorang manusia duduk bersila mengenakan jubah diatas sajadah.
Akhirnya Sayyid Djalaluddin Al'Aidid diajak ke perahu I Danda dan I Bunrang menuju tepi sungai Cikoang. Sayyid Djalaluddin kemudian menjadikan I Danda dan I Bunrang bekerja mengabdi kepada beliau. Seiring waktu, Sayyid Djalaluddin Al'Aidid mengutus I Danda dan I Bunrang menjemput istrinya yaitu I Acara’ Daeng Tamami Binti Sultan Abdul Kadir Alauddin di Balla Lompoa Gowa.
Akhirnya Sayyid Djalaluddin Al'Aidid menetap di Cikoang dan memimpin jamaah masyarakat desa Cikoang. Tradisi Mandi Syafar dilakukan pertama kali oleh Sayyid Djalaluddin Al'Aidid pada 10 Syafar 1025 H yaitu saat memperingati hari lahirnya Nabi Muhammad yang jatuh pada tanggal al 1025 Hijriah atau 11 November 1605 Masehi.
Istri Jalaluddin adalah anak dari Abdul Kadir, keponakan Sombayya ri Gowa. Memiliki 2 orang anak yang bernama Sayid Umar dan Sayid Syahbuddin. Mereka tinggal di Cikoang selama 3 tahun. Kemudian melanjutkan perjalanannya sampai di Selayar.
Istri dan kedua anak Jalaluddin tinggal di Desa Cikoang yaitu Sayid Umar dan Sayid Syahbuddin, yang memiliki keturunan di Desa Cikoang sampai saat ini. Keturunan Sayid Cikoang yang laki-laki disebut Sayid, dan keturunan perempuan disebut Syarifah.
Desa Cikoang dihuni sekitar 2.444 penduduk, dengan jumlah KK tercatat sebanyak 574. Sekitar 70 rumah yang berasal dari keturunan Sayid. Kebanyakan Sayid melakukan pekerjaan dengan membuat garam, bercocok tanam, mengelola tambak ikan dan sebagai nelayan.
Di mulai zaman Sayyid inilah Maudu Lompa rutin dan terlembagakan dalam ritual kerajaan setempat. Apalagi ketika pengaruh Sayyid, selalu diartikan sebagai “keturunan Nabi” di Cikoang ini makin kuat dari segi pemerintahan dan keagamaan.
Dari zaman Sayyid ini hingga sekarang perayaan Maulid terus dilakukan. Inilah yang membuat Desa dikenal sebagai ‘Kampung Maulid’. Dalam perayaan Maudu Lompoa, warga Cikoang dan mengarak replika perahu Pinisi yang dihias beraneka ragam kain sarung dan dipamerkan di tepi sungai Cikoang.
Di dalam perahu, disimpan makanan nasi ketan khas Makassar (Songkolo) dan dihias telur berwarna-warni. Sajian makanan ini melambangkan bahtera yang membawa berkah bagi masyarakat Cikoang. Setelah prosesi arak selesai, makanan ini dipersembahkan dalam puncak Maudu Lompoa di baruga, yang dipimpin oleh pemimpin ritual atau penghulu yang biasa disebut Sayyid.
Komentar
Posting Komentar