Aliansi Jurnali Independen (AJI) Kota Makassar peringati kebebasan pers dunia dengan menggelar panggung ekspresi. Kegiatan ini bertempat di pelataran Rumah Independen AJI Makassar pada Sabtu 4 Mei 2019.
AJI Makassar mengajak jurnalis, pers mahasiswa dan jaringan aktivis di Makassar untuk menyuarakan perlawanan terjadap kekerasan, kriminalisasi dan persekusi. Jurnalis bukan jurkam, jurnalis harus sejahtera.
Melalui panggung ekspresi tersebut, memberikan kesempatan kepada peserta dalam menyuarakan aspirasinya memberikan testimoni, berpuisi atau bernyanyi bersama.
Melalui wadah sederhana sebagai bentuk kampanye betapa pentingnya peran jurnalis dikawal oleh kawan yang bergerak dalam berbagai bidang. Untuk bersama-sama mengawal dan memperingati hari kebebasan berekspresi.
Sahrul Ramdhan selaku koordinator Divisi Advokasi AJI Makassar mengatakan, belakangan, beberapa kasus yang kemudian mencuat dan ditindaklanjuti, namun sampai pada penegakan hukumnya hanya beberapa yang bisa diselesaikan melalui meja hijau. Menyikapi hal seperti ini, menjadi pemantik kawan di AJI untuk memperingati hari kebebasan pers ini. Mari bersama membangun kesadaran tentang peran jurnalis dalam mengawal kasus yang ada.
“Pekerja jurnalis adalah pekerjaan yang sedikit rawan. Kenapa? Pertama adalah bagaimana penekanan kemudian terjadi tanpa sadar, pemberitaan kemudian dibredel. Bagaimana gerakan-gerakan masif yang tadinya menjadi sebuah tulisan, menjadi sebuah ulasan bahkan di cuting atau dipotong sedemikian rupa. Bahkan sampai masyarakat yang memahami itu mempresepsikan salah,” ujarnya.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers Makassar, Charli mengatakan, hari kebebasan pers dimana sebagai petanda, bukan memeriahkan tapi hari peringatan bagi negara pers, kemudian dalam fakta sejarah telah menjadi bagian penting bahkan memastikan satu peradaban.
Indonesia kemudian mendaulat bahwa kebebasan pers adalah bagian dari kehidupan berbangsa dan bernegara. Hari kebebasan pers ternyata tidak berkerindang dengan semangat demokrasi itu sendiri, sebab kemerdekaan yang dimimpikan negara hari ini cenderung dimanipulasi oleh kebebasan itu sendiri.
Yang diuntungkan hanya kelompok tertentu. Masifnya media kemudian berubah menjadi korporasi dalam prakteknya kecenderungan pers sebagai profesi, pekerja, bahkan dalam beberapa kasus pers sebagai pekerja itu hampir kita lihat tidak ada pergerakan atau tidak ada keberpihakan negara.
“Perlunya pers untuk berserikat. Namun bagi saya tidak cukup hanya berserikat tetapi punya gerakan. Dengan momentum yang sederhana ini, berharap AJI Makassar menjadi harapan semua bagi pers tetap menjadi titahnya. Sebagai sarana penyampaian informasi, hak dan penyampaian sebagai penjaga kekukasaan. Tentu tantangan terbesar kedepannya adalah soal memisahkan media pers sebagai profesi independen. Ada ruang aktivitas uang yang menjadi tantangan tersendiri bagi pekerja pers itu sendiri,” ujar Charli.
Ketua AJI Makassar, Nurdin Amir menambahkan, Panggung sederhana ini sebagai bagian penyemangat dalam memperingati kebebasan pers sudunia. Banyak persoalan disekitar kita mulai persoalan kekerasan, kriminalisasi, persekusi dan persoalan lain. Kita harus tetap profesional dalam menjalankan tugas sebagai seorang jurnalis.
Jurnalis tidak boleh menjadi juru kampanye, jurnalis menuntut untuk kesejahteraan. Hari ini kita berkumpul untuk menyatukan semangat bersama-sama dalam melakukan perlawanan bahwa kekerasan jurnalis harus dihentikan hari ini.
Menjadi persoalan yang sangat penting adalah mendorong kesejahteraan dan kebebasan diruang redaksi. Hari ini kita melihat bahwa persoalan itu adalah sangat penting untuk kita perjuangkan bersama.
Selain itu kebebasan pers di ruang kampus pun menjadi persoalan yang harus diperjuangkan bersama. Bagaimana pers mahasiswa dikungkung oleh birokrasi kampus. Sehingga menjadi bagian dari tujuan kita bersama bahwa pers mahasiswa harus bergerak bersama dalam memperjuangkan kebebasan pers baik dirana kampus maupun diluar kampus.
Dalam kesempatan tersebut Rahmat Hardiansya Sekretaris AJI Makassar periode 2013-2016 menyatakan, setiap tahun kita merayakayan word press freedom day yang bertepatan pada 3 Mei. Tingkat kekerasan jurnalis setiap tahunnya semakin tinggi, dan tahun ini kemungkinan besar akan bertambah.
“Kekerasan bukan hanya pemukulan. Tetapi kekerasan juga pemecatan secara sepihak. Masih banyak pekerjaan rumah khusunya jurnalis di Sulsel. Masalah jurnalis bukan hanya kekerasan fisik tapi kekerasan spikis dan dompet, masih ada teman-teman dilapangan dibayar 10 rb rupiah per berita. Sedangkan UMP kita masih 2,8 juta rupiah dan itu masih sangat jauh dari upah layak seorang jurnalis,” ujarnya.
AJI Makassar mengajak jurnalis, pers mahasiswa dan jaringan aktivis di Makassar untuk menyuarakan perlawanan terjadap kekerasan, kriminalisasi dan persekusi. Jurnalis bukan jurkam, jurnalis harus sejahtera.
Melalui panggung ekspresi tersebut, memberikan kesempatan kepada peserta dalam menyuarakan aspirasinya memberikan testimoni, berpuisi atau bernyanyi bersama.
Melalui wadah sederhana sebagai bentuk kampanye betapa pentingnya peran jurnalis dikawal oleh kawan yang bergerak dalam berbagai bidang. Untuk bersama-sama mengawal dan memperingati hari kebebasan berekspresi.
Sahrul Ramdhan selaku koordinator Divisi Advokasi AJI Makassar mengatakan, belakangan, beberapa kasus yang kemudian mencuat dan ditindaklanjuti, namun sampai pada penegakan hukumnya hanya beberapa yang bisa diselesaikan melalui meja hijau. Menyikapi hal seperti ini, menjadi pemantik kawan di AJI untuk memperingati hari kebebasan pers ini. Mari bersama membangun kesadaran tentang peran jurnalis dalam mengawal kasus yang ada.
“Pekerja jurnalis adalah pekerjaan yang sedikit rawan. Kenapa? Pertama adalah bagaimana penekanan kemudian terjadi tanpa sadar, pemberitaan kemudian dibredel. Bagaimana gerakan-gerakan masif yang tadinya menjadi sebuah tulisan, menjadi sebuah ulasan bahkan di cuting atau dipotong sedemikian rupa. Bahkan sampai masyarakat yang memahami itu mempresepsikan salah,” ujarnya.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers Makassar, Charli mengatakan, hari kebebasan pers dimana sebagai petanda, bukan memeriahkan tapi hari peringatan bagi negara pers, kemudian dalam fakta sejarah telah menjadi bagian penting bahkan memastikan satu peradaban.
Indonesia kemudian mendaulat bahwa kebebasan pers adalah bagian dari kehidupan berbangsa dan bernegara. Hari kebebasan pers ternyata tidak berkerindang dengan semangat demokrasi itu sendiri, sebab kemerdekaan yang dimimpikan negara hari ini cenderung dimanipulasi oleh kebebasan itu sendiri.
Yang diuntungkan hanya kelompok tertentu. Masifnya media kemudian berubah menjadi korporasi dalam prakteknya kecenderungan pers sebagai profesi, pekerja, bahkan dalam beberapa kasus pers sebagai pekerja itu hampir kita lihat tidak ada pergerakan atau tidak ada keberpihakan negara.
“Perlunya pers untuk berserikat. Namun bagi saya tidak cukup hanya berserikat tetapi punya gerakan. Dengan momentum yang sederhana ini, berharap AJI Makassar menjadi harapan semua bagi pers tetap menjadi titahnya. Sebagai sarana penyampaian informasi, hak dan penyampaian sebagai penjaga kekukasaan. Tentu tantangan terbesar kedepannya adalah soal memisahkan media pers sebagai profesi independen. Ada ruang aktivitas uang yang menjadi tantangan tersendiri bagi pekerja pers itu sendiri,” ujar Charli.
Ketua AJI Makassar, Nurdin Amir menambahkan, Panggung sederhana ini sebagai bagian penyemangat dalam memperingati kebebasan pers sudunia. Banyak persoalan disekitar kita mulai persoalan kekerasan, kriminalisasi, persekusi dan persoalan lain. Kita harus tetap profesional dalam menjalankan tugas sebagai seorang jurnalis.
Jurnalis tidak boleh menjadi juru kampanye, jurnalis menuntut untuk kesejahteraan. Hari ini kita berkumpul untuk menyatukan semangat bersama-sama dalam melakukan perlawanan bahwa kekerasan jurnalis harus dihentikan hari ini.
Menjadi persoalan yang sangat penting adalah mendorong kesejahteraan dan kebebasan diruang redaksi. Hari ini kita melihat bahwa persoalan itu adalah sangat penting untuk kita perjuangkan bersama.
Selain itu kebebasan pers di ruang kampus pun menjadi persoalan yang harus diperjuangkan bersama. Bagaimana pers mahasiswa dikungkung oleh birokrasi kampus. Sehingga menjadi bagian dari tujuan kita bersama bahwa pers mahasiswa harus bergerak bersama dalam memperjuangkan kebebasan pers baik dirana kampus maupun diluar kampus.
Dalam kesempatan tersebut Rahmat Hardiansya Sekretaris AJI Makassar periode 2013-2016 menyatakan, setiap tahun kita merayakayan word press freedom day yang bertepatan pada 3 Mei. Tingkat kekerasan jurnalis setiap tahunnya semakin tinggi, dan tahun ini kemungkinan besar akan bertambah.
“Kekerasan bukan hanya pemukulan. Tetapi kekerasan juga pemecatan secara sepihak. Masih banyak pekerjaan rumah khusunya jurnalis di Sulsel. Masalah jurnalis bukan hanya kekerasan fisik tapi kekerasan spikis dan dompet, masih ada teman-teman dilapangan dibayar 10 rb rupiah per berita. Sedangkan UMP kita masih 2,8 juta rupiah dan itu masih sangat jauh dari upah layak seorang jurnalis,” ujarnya.
Komentar
Posting Komentar