"Alamat percetakan buku di mana yah kak?"
"Jalan Pendidikan Raya, kamu tunggu saja saya di depan Rektorat UNM."
"Okey kak." Segera saya menuju ke tempat tersebut.
Sesampainya di gedung Rektorat Universita Negeri Makassar saya kemudian di telepon untuk segera menuju warkop. "Kamu ke warkop dg. Anas saja, nanti kita ke sana barengan, motormu di Parkir di sini saja."
Tanpa pikir panjang saya segera menuju ke warkop dg. Anas. Karena terburu-buru saya tidak terlalu memperhatikan jalan. Sambil mencari alamat.
Tiba di lampu merah tepatnya jalan Hertasning , karena terburu-buru saya tidak terlalu memperhatikan lampu merah. Saya langsung melaju tanpa peduli disekitarku.
Kaget ketika melihat polisi sedang melambaikan tangannya dan mengarah kepadaku, saya pun singgah dan saat itu juga saya sadar kalau melanggar lampu merah.
"Mau kemana, apakah kamu tidak memperhatikan lampu merah?" Kata pak Polisi.
Saya hanya tercengang lalu menjawab,"saya tidak pernah lewat sini pak, saya cuma mengikuti pengendara yang ada di depanku."
Sembari dia meminta SIM dan STNK, lalu mengeluarkan surat tilang. Menuliskan pelanggaranku."Kamu keja di mana?"
"Saya kerja di Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Makassar pak, sebagai staf di situ,"jawabku.
"Saya ambil STNK kamu atau SIM saja atau saya ambil keduanya."
"Terserah Bapak saja."
"Saya ambil SIM kamu saja, kamu punya waktu sidang tanggal 27 Juni 2014."
"Iya
Pak." Jawabku. Terserah pak polisinya mau menulis pasal berapa, saya sudah
tidak peduli dengan hal itu.
Tidak
ada istilah negosiasi dengan pak polisi, yang namanya salah yah tetap salah. Tetapi
saya sempat kaget dengan dendanya.
Pak
Polisi menuliskannya di kertas, lalu memberikanku kertas berwarna pink.
Didalamnya di tuliskan yakni melanggar pasal 260 maksimal denda 500.000 rupiah.
Sepuluh
hari menunggu sidang. Setelah tiba waktunya, saya menuju ke pengadilan negeri
untuk mengikuti persidangan tersebut dengan penuh rasa penasaran.
Diruangan
tempat saya disidang ternyata memiliki banyak peserta. Banyak yang melakukan
pelanggaran lalu lintas, kebanyakan melanggar lampu lalu lintas, tidak memilki
SIM mengendara, lupa membawa STNK, dan lupa memakai helm.
Saya
dan mereka yang memiliki kasus yang sama, melanggar lampu merah dengan
keputusan hakim membayar sebanyak Rp 76.000. Kurungan penjara selama dua hari
kalau tidak melunasinya.
Sangat
berbeda jauh yang dituliskan surat tilangnya oleh polisi lalu lintas. Perbedaan
lima kali lipat dari keputusan hakim. Paling tinggi denda yang diberikan oleh
peserta sidang sekira kurang dari dua ratus ribu, dengan kasus tidak memiliki
SIM dan STNK saat berkendara.
Setelah
saya browsing ternyata Polisi tulis pasal yang salah, seharusnya di Surat
Tilang dia tulis Pasal 287 (2) 106 (4): Melanggar aturan Perintah atau
larangan yang dinyatakan dgn alat pemberi isyarat Lalu Lintas. Bukan pasal 260. Denda juga jangan dimaksimalkan Rp. 500.000,
aslinya di Pengadilan cuma bayar Rp. 76.000. Atau apakah ada perubahan aturan.
Saran
untuk teman-teman yang langganan ditilang sama pak Polisi. Seharusnya harus
mulai sadar hukum dari sekarang. Jangan takut sidang tilang. Sidang tilang terdakwanya ramai, bayarannya pun murah. Daripada menyogok pak Polisi mending disumbangkan ke khas Negara.
Menerobos lampu merah tentu saja berisiko. Potensi
kecelakaan adu kambing alias tabrakan berhadap-hadapan cukup besar. Siapa pun,
tentu tak ingn terlibat insiden kecelakaan lalu lintas jalan. Rasanya, aturan
tersebut masuk akal untuk melindungi pengguna jalan dari risiko terlibat
insiden kecelakaan. Cukup sabar sedikit, rasanya risiko bisa dikurangi.
Komentar
Posting Komentar