Dia telah pergi, tak mungkin kembali
Dia telah pergi, pilukan hati
Dia telah pergi, tak lagi disisi
Dia telah pergi ke nirwana
Demikian lirik lagu dari Naff, yang menceritakan seseorang yang telah meninggalkan dunia ini dan Dia tak akan kembali. Kakinya tak lagi berpijak di bumi, suaranya tak lagi menggelombang di udara, dan tingkahnya tak mungkin lagi kami saksikan.
Mengenang tiga tahun kepergian sahabat kami almarhum Jannuar Syarif, kami dari kru Rumput kosong tujuh Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, Makassar. Mengunjungi pemakaman umum yang bertempat di Antang dan bermaksud siarah kuburan Almarhum, Sabtu (24 Mei 2014).
Peristiwa meninggalnya Jannuar Syarif telah meninggalkan cerita yang
banyak dari usianya saat itu baru 22 tahun dari kelahiran 14 januari 1989. Tak
ada yang melupakanmu di sini, Al-Fatiha dan doa-doa terbaik dari kami akan
selalu mengiringi langkahmu menuju-Nya.
Ketika mendapatkan kabar dari teman via sms di telepon genggamku.
“teman-teman sekarang kami di Rumah Sakit Wahidin, sahabat kita terkena musibah
dan berada di unit gawat darurat,” demikian sms Dhery Andi Andriana.
Dhery adalah seorang yang dekat dengan almarhum, dan beberapa detik
kemudian dia mengabari lagi bahwa Jannuar Syarif telah mengembuskan nafas
terakhirnya. Ada perasaan tidak percaya akan informasi tersebut.
Kematian bisa datang mengejutkan.padahal dibanyak waktu tak sabar kita
terkadang menunggunya. Tidak ada yang
menginginkan kematian saat hidup begitu indah, nyaman, dan mudah. Saat
seseorang masih mencoba merasakan nikmat dari puncak kehidupan.
Tapi tentu ada banyak orang yang menginginkan hidup segera berakhir saat
diri terhimpit, ditekan kiri dan kanan dan tidak ada ruang untuk bergerak sama
sekali.
Alamarhum Jannuar Syarif adalah anak ke dua dari tiga bersaudara, Sardiansyah
Syarif dan Dian Trisnawati adalah
saudara kandungnya. Ibunya bernama
Rijawati Bochari dan Ayahnya bernama Muhammad Syarif Darmawi.
Detik-detik Sebelum Kepergian Jannuar
Mengenang sebuah kematian mestinya membuat kita menginsafi diri, dengan
menyadari apa yang kita miliki, usahakan, dan apa yang masih tertinggal. Insaf
membuat kita memandang ke cakrawala, apa yang tersisa untuk kita di masa depan
dan apa yang akan kita raih serta bagaimana merencanakan. Merencanakan masa
depan membuat kita berusaha mempersiapkan segalanya sebagai kebaikan yang akan
kita tinggalkan untuk orang yang akan mengenang sesudah kita.
Menurut Dian Trisnawati, Kakaknya adalah sosok yang rajin shalat,
kebiasaannya mengaji seusai shalat maghrib, paling senang sama anak kecil,
sayang sama keluarga utamanya ibu yang telah mengandung dan melahirkannya. “Alamrhum
sering bertengkar sama saya, tapi saya tahu dia sangat menyayangiku walau gengsi bilang.” Ungkap Dian.
Mendengar kabar dari tetangga, antara percaya dan tidak. Seketika itu
Dian lalu keluar dari kelas kemudian menelpon kakaknya juga kakak dari
Almarhum. Menanyakan apakah kabar yang di dapat dari tetangganya tersebut
adalah benar.
Perasaan sedih dan kecewa ketika Sardiansyah menjawab dan menyuruh Dian
agar segera bergegas ke Rumah Sakit Ibnu Sina. Dian pun tanpa pikir panjang
langsung masuk ke ruang kelas mengambil tas. Dia lupa kalau proses mengajar di
kelas sedang berlangsung. Akan tetapi dia ditemani sahabatnya menuju ke rumah
sakit Ibnu Sina.
Sesampainya di rumah sakit, Dian langsung memeluk Sardiansyah lalu
berkata,” masih hidupji toh karena dibawa ke rumah sakitji.”
“Sabarmi dek, ternyata tidak
di sini (RS. Ibnu Sina) tapi di RS Wahidin,” kata Sardiansyah.
Dian tidak ke RS Wahidin
karena mendapat instruksi dari Sardiansyah anak pertama dari Bapak Muhammad
Syarif untuk langsung menuju ke rumahnya di perumahan dosen Antang. Sepanjang
perjalanan Dian melihat motor kakaknya (Almarhum) di Pekuburan Cina yang sudah
hancur lebur, dengan demikian Dian pun semakin percaya saudaranya telah tiada.
Dia kemudian singgah
mengambil telepon genggam yang masih utuh kemudian melanjutkan perjalanan. Tak
henti air mata mengalir sampai masuk ke dalam rumahnya. Dalam rumah Dian duduk
termenung dan masih tidak percaya. Mendengar bunyi mobil ambulance lalu berdiri dan melihat almarhum di angkat dengan
balutan kain putih. Saat itulah Dian merasakan sakit hati dan histeris.
Almarhum Jannuar Syarif
meninggal akibat kecelakaan di Pekuburan Cina pada Selasa, 24 Mei 2011. Dua
hari menjelang kepergiannya, tak seperti biasanya pagi-pagi Dian dibangunkan
oleh Almarhum. Kebiasaannya bercanda dengan nada marah itu tidak lagi. Dia baik
dan mengeluarkan nada yang lembut kepada adiknya.
Minggu itu juga tak
biasanya almarhum mencuci bersih motornya lalu meminjamkan kepada Dian. “Hari
itu juga saya perhatikan mukanya dan bertanya dalam benakku, kenapa mukanya
bersih, gagah sekali dan putih, dan dalam hatiku berkata ternyata kakakku cakepji,” Jelasnya.
Minggu malam almarhum
pulang dengan mengajukan setiap pertanyaan kepada Dian. Namun, adiknya tidak
mau menjawab sebab marah karena telah menglilangkan jacket yang bukan miliknya.
Sempat membentak sang kakak, karena memakai sepatu dengan mondar-mandir di
rumah dan makanan yang dimakan dimuntahkan begitu saja.
Demikian akhir pertemuan
Dian dengan Almarhum. Senin pagi dia harus bergegas ke sekolah. Pagi itu
Almarhum belum bangun karena menginap di sekretariat Himpunan Produksi Ternak,
Fakultas Peternakan, Universitas Hasanuddin.
Selasa pagi ketika akan
ke Sekolah, untuk pertama kalinya menengok ke kamar almarhum berniat untuk
mencarinya, padahal tak biasanya Dian berlaku seperti itu. Sepanjang perjalanan
ke sekolah Dian tertidur di angkutan umum (pete-pete).
Apakah itu petanda kalau Dian nantinya akan kelelahan menangis?
****
Komentar
Posting Komentar