Setelah mendapat kabar dari saudara perempuanku, sebut saja Ani. Mengabarkan bahwa nenek saya meninggal dunia. Saya pun bergegas untuk beranjak dari tempat dudukku, tanpa berpikir panjang saya yang berada di kantor tempat kerjaku, kemudian mengambil tas lalu menuju kost tempat tinggalku di Makassar.
Setelah sampai di kost, saya dan Ani kemudian prepare. Jarum jam menunjukkan pukul 17.00 Wita, kami pun menuju ke desa Bengo Kabupaten Bone tempat tinggal nenekku dengan menggunakan kendaraan roda dua. Diperjalanan kami medapat musibah, terjatuh dari motor karena menabrak itu hal yang biasa. Tapi terjatuh karena ditabrak oleh anjing menurutku tidak wajar.
Saat itu Ani berusaha menghindar dari anjing tersebut. Ternyata dia salah strategi, harusnya lewat belakang bukan lewat di depan anjing tersebut. Motornya kemudian digas tinggi, karena anjingnya kaget lalu berlari dan menghantam pas ditengah motor kami. Saya terjatuh di aspal dan merasakan benturan dikepalaku yang kencang, untungnya saya memakai helm.
Berbeda yang dialami kakakku Ani. Lutut, mulut dan hidungnya terluka. Sesaat kemudian warga berkumpul. dan menuntun kami ke Puskesmas. Tepat di kelurahan Sabili, Lappa ninare kecamatan Mallawa pas depan masjid kejadiannya. Setelah selesai pertolongan pertama, kami melanjutkan perjalanan dengan menahan rasa sakit.
Puang Tungke bukan orang yang melahirkan bapakku, melainkan hanya keponakannya. Saya sangat dekat dengan beliau juga anak-anaknya karena dari kelas II Sekolah Dasar sampai kelas VIII Sekolah Menengah Pertama saya tinggal di rumahnya desa Bengo kabupaten Bone tersebut.
***
Saya tidak tahu kapan dia lahir, yang saya tahu beliau adalah anak tunggal. Itulah sebabnya dia diberi nama Tungke yang arti dalam Bahasa Indonesia yaitu tunggal. Sebagai bentuk penghormatan kami memanggilnya Puang Tungke. Memiliki anak 9 orang yang terdiri dari 4 laki-laki dan 5 perempuan.
Merawat 9 orang anak tidaklah mudah. Apalagi dilakukannya sendiri. Suaminya menikah dengan pembantunya. Entah bagaimana perselingkuhan itu terjadi. Andi Parakkasi Petta Longi adalah nama bapak dari 9 anaknya. Panggilan ibu dengan sebutan indo' sedangkan bapaknya saya tidak tahu, karena saya tidak pernah mendengar dia memanggil bapaknya.
Menurut ceritera, dahulu bapaknya adalah kepala suku di desa Bengo. Saya menyebutnya kepala suku karena tidak tahu pastinya dia sebagai apa, intinya pernah memimpin desa tersebut, entah kepala RW atau kepala RT bahkan kepala Desa. Dia banyak mempekerjakan orang. Entah tahun berapa Petta Longi ini menikah untuk kedua kalinya.
Saya di sekolahkan di desa tersebut, disayang dan dimanja. Presiden waktu itu masih Bapak Soeharto. Kita tahu bahwa pada masa pemerintahannya, bebas biaya pendidikan. Masa kecil aku lewati di sana, banyak kenangan yang saya lalui bersama mereka.
Membayangkan bagaimana Puang Tungke merawat sembilan anaknya, menyekolahkannya. Pernah suatu hari membawa anaknya menemui bapaknya di Kendari. Dimana dia harus memenuhi keinginan anaknya, walau itu hanya untuk bertemu dengan ayahnya.Tanpa ada status perceraian diantara mereka, kehidupan dijalani masing-masing.
Petta Longi memilih hidup dengan istri keduanya dan mengabaikan istri pertamanya serta anak-anaknya di Kendari. Sedangkan Puang Tungke memilih hidup bersama 9 orang anaknya di desa Bengo.
***
Selama tujuh tahun saya tinggal di rumahnya, mulai umur sembilan tahun sampai umur empat belas tahun. Bisa dibilang saya sebagai saksi kehidupan mereka. Meski saya berada di desa tersebut masih terlalu muda dan belum mengerti apa sebenarnya arti kehidupan . Umurku yang tergolong kanak-kanak, bukan berarti saya tidak mengingat semua. Apa yang terjadi di sana semua terekam baik.
Umurku yang ke-9 tahun, anaknya yang bungsu sudah tamat di Sekolah Menengah Atas. Hanya satu anaknya yang melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi, yang sekarang bekerja di Dinas Pertanahan. Uniknya lagi, anak-anaknya yang perempuan sampai sekarang memilih untuk tidak menikah. Tapi ada salah satu diantara mereka yang menikah, itupun karena merantau ke Malaysia tanpa restu dari orangtuanya dan berhasil mendapatkan jodohnya di sana.
Ketiga anak laki-lakinya sudah menikah dan Alhamdulillah masing-masing sudah mendapat keturunan. Kecuali satu anaknya yang laki-laki karena meninggal dunia sebelum saya tinggal di sana. Memilih lajang seumur hidup, karena banyak penyebab. Tidak mau terulang nasib yang dialami Indo’, terkesan memilih-milih bahwa yang datang melamar adalah keturunan ningrat baru bisa di restui.
Puang Tungke, tanpa lelah merawat saya hingga umur 14 tahun. Mengajarkan bagaimana menjalani hidup dengan penuh kesabaran. Di sana saya sakit-sakitan, tiap bulan bisa dihitung jari. Dia selalu menemaniku berada didekatku memerhatikan saya sampai sembuh. Sampai kapan pun, tidak bisa melupakan jasa beliau, juga tidak melupakan dukun di kampung itu, yang setia dipanggil setiap saat hanya mengobatiku. Dengan mantra-mantra yang dibaca lewat segelas air putih, menurut mereka bisa menyembuhkan penyakitku.
Karena sering sakit dan segelas air putih tidak akan bisa menyembuhkan penyakitku. Akhirnya saya pindah sekolah, tempat dimana saya dilahirkan. Kembali berkumpul dengan orangtuaku serta saudara dan saudari kandungku. Setelah bersama mereka saya akhirnya terbebas dari penyakit apapun.
Liburan sekolah saya menyempatkan silaturahim di kampung Puang Tunke. Seandainya dari awal saya mengetahui bahwa jauh dari orangtua tidaklah seindah yang kubayangkan. Saya tidak memilih sekolah dan tinggal di desa Bengo tersebut. Salahku karena terlalu terobsesi dan penasaran. Dan lagi saya berusaha untuk berpikir positif dan menjadikan sebagai pengalaman yang berharga.
***
Terakhir mendapat kabar, Puang Tungke sakit dan harus dirawat di Rumah Sakit. Sakit kepala yang dideritanya kambuh lagi. Satu minggu berada di RS umum Tenriawaru kabupaten Bone. Selama itu tak ada perubahan, dokter pun tak tahu penyakit apa yang diderita. Bapakku pun harus stay di tempatnya dirawat.
Terakhir berpesan kepada Bapakku, bahwa anak pertamanya adalah dia. Ketika beliau tidak ada, anak-anaknya berusaha mengubungi dan memastikan bapakku harus selalu ada disampingnya. Menurut cerita, Puang Tunke untuk yang terakhir kalinya menanyakan saya. Dan akhirnya Puang tungke tak bisa mengucapkan apa-apa serta bergerak pun susah layaknya orang yang terkena penyakit stroke.
Anaknya memilih untuk merawatnya di rumah. Dari dahulu kala sampai sekarang pemikiran mereka tidak berubah. Masih primitif, ketika sakit hanya mengandalkan dukun. Akhirnya saya mendapat waktu luang untuk menjenguknya. Menyaksikan dengan mata kepalaku, dia terbaring dengan inpus dan keteter yang dipasang di tubuhnya.
Selama 24 jam lebih saya berada di sana. Selalu berada di sampingnya memerhatikan sekelilingnya. Begitu loyal anak-anaknya merawat Indo’nya, sesekali melihat anak-anaknya meneteskan air mata. Anak-anaknya harus meninggalkan semua pekerjaannya karena harus fokus merawatnya. Tidak ada rasa takut menghampiri ketika sembako sudah habis, karena memiliki tanah yang luas yaitu kebun coklat dan sawah yang berada di beberapa lokasi di desa tersebut. Hanya mempekerjakan orang dan hasilnya dibagi. Tak heran ketika dia tak bekerja dan masih bisa makan.
Sesekali Puang Tungke memandang anaknya yang berada di sampingnya memegang erat tangan anak-anaknya, itu dilakukan ketika merasakan sakit entah di bagian kepala atau perutnya. Ketika mulai di kasih sesuap bubur hingga tiga suap dan akhirnya tak ada reaksi apa pun. Air mataku tak henti menetes menyaksikan kejadian itu.
***
Perasaan sedih selalu menghampiri dan saya harus kembali ke Makassar, berdoa semua akan membaik. Selalu memantau kabar dari jauh hingga menghembuskan nafas terakhirnya. Tak sedikit pun perhatian dari mantan suaminya, menanyakan kabarnya bahkan tidak datang melayat. Kendari menurutku tidak jauh jaraknya dengan desa itu.
Petta Longi sudah berbahagia dengan keluarganya di sana, sudah lupa perempuan kuat yang membesarkan anak-anaknya. Apakah dia tidak mengingat, ketika dia sakit siapa yang merawatnya? Beberapa tahun yang lalu, berbulan-bulan lelaki itu dirawat oleh Puang Tungke, tanpa mengeluh, siang dan malam dengan sabar berada di sampingnya.
Setelah sembuh total, Petta Longi kembali bersama dengan istri keduanya dan anak-anaknya di Kendari. Terkadang kita tidak mengharapkan balas budi dari seseorang, kita juga tidak tahu apa isi hati mereka.
Sampai di rumah duka, saya tidak pernah meneteskan air mata, apakah air mata saya sudah kering. Istirahat sejenak, lalu disodorkan al-quran disuruh mengabiskan 30 juz. Besoknya, Selasa 11 Februari 2014 pukul 12.30 Wita setelah menamati kemudian mereka siap-siap memandikan almarhum.
Sedih menyaksikan mayatnya dimandikan lalu dikafani. Anak-anaknya begitu terpukul karena sebentar lagi Indo’nya akan segera dikebumikan. Saya menangis setelah melihat kain kafan dan meyakinkan diriku bahwa dia betul telah tiada dan tak mungkin kembali.
Mengenang perjuangannya selama dia hidup, sekali lagi berpikir dan bertanya. Apakah dia sakit karena selama ini dia memendam perasaannya, sakit hati membesarkan anaknya tanpa bantuan suaminya. Bekerja keras sampai harus banting tulang mengambil hasil kebun sendiri, berjalan kaki hingga puluhan kilo. Akhh.. semua dilakukan sendiri. Wanita tangguh yang tak bisa saya lupakan sampai akhir khayat hidupku.
Dia adalah sosok wanita yang pantas untuk dijadikan panutan. Menghembuskan nafas terakhirnya pada, Senin 10 Februari 2014, pukul 02.00 Wita. Almarhum sudah menyampaikan pesan kepada anak-anaknya tentang pembagian warisan. Walau dengan lisan, menasehati anak-anaknya supaya tidak serakah. Tidak berselisih paham hanya memperebutkan harta. Semoga keluarga mereka tetap rukun dan tetap solid setelah wafatnya Indo'.
Zaman yang kita masuki penuh dengan berbagai informasi dan kepentingan. Untuk melalui zaman itu dengan nyaman, kuncinya terletak pada diri sendiri. Dan untuk peduli itu kita harus kuat. Pribadi demi pribadi
Setelah proses pemakaman usai. Bergegas saya dan saudariku Ani kembali ke Makasar.
Komentar
Posting Komentar