Langsung ke konten utama

Perlindungan Hukum HKI di Era Digital

Perlindungan hukum Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di era digital semakin diperlukan, khususnya menghadapi perkembangan penggunaan internet di Indonesia. Apalagi tampaknya nettiquet (etika berinternet) tidak mencukupi lagi menghadapi perkembangan pengguna internet yang pesat. Padahal semakin banyak kalangan bisnis yang menanamkan modalnya di internet. Internet sebagai bagian dari era digital telah memberikan tantangan bagi HKI. Pasalnya, karya cipta manusia dapat dialihrupakan dalam bentuk digital yang kemudian perbanyakannya sangat mudah dilakukan.


Beberapa permasalahan HKI yang berkaitan dengan internet dalam era digital di antaranya berkaitan dengan masalah domain name, masalah tanggung jawab ISP (Internet Service Provider). Selain itu, beberapa hal teknis dalam pembuatan situs yang berpotensi untuk melanggar hak cipta, yakni deep linking, framing, dan inlining.
ISP berisiko digugat ISP biasanya menyediakan layanan web hosting. Karena itu, ISP memiliki resiko untuk digugat oleh pemilik hak cipta yang merasa dilanggar haknya. Pasalnya, ada customer yang mem-posting material yang melanggar hak cipta dalam situs yang di-hosting di server milik ISP. Sebagai ilustrasi, ada pihak yang mem-posting sebuah buku digital (digital book) dalam format PDF, yang jika dibeli dalam versi cetaknya mungkin saja seharga AS$200.

Jika kemudian buku ini di-download oleh dua puluh ribu pengunjung situs tersebut, jelas di sini betapa besar kerugian pencipta atau pengarang buku. Si pengarang mungkin saja menuntut ISP karena buku karangannya telah diubah ke format digital. Namun, ISP mungkin saja telah memiliki penjanjian dengan customer-nya yang melarangsi customer untuk mem-posting material yang melanggar hak cipta. Dan ISP tidak bertanggung jawab atas pelanggaran yang terjadi. Toh, disclaimer semacam ini mungkin tidak cukup karena si pengarang tetap dapat menuntut pihak ISP. Misalnya dengan dalih, ISP telah memberikan suatu kontribusi tertentu bagi pelanggaran hak cipta atas karyanya. Alasan pertama, karena pengarang kesulitan untuk menemukan orang yang mem-posting karya ciptanya tersebut. Apalagi sifat server ISP yang dapat diakses dari berbagai belahan dunia serta sifat anonimitas dari internet sendiri.

Belum lagi, kewajiban bagi ISP untuk merahasiakan nama customer-nya. Alasan kedua bagi pengarang untuk menuntut adalah masalah ekonomis semata. Pihak yang mem-posting tersebut belum tentu memiliki kemampuan keuangan yang cukup untuk membayar ganti rugi yang dimintakan. Sedangkan ISP sebagai entitas bisnis, dianggap dapat memberikan ganti rugi yang dimintakan. Melanggar hak cipta Sungguh sayang memang, padahal tentunya tidak ada kesengajaan dari pihak ISP untuk melakukan pelanggaran hak cipta. Namun jika memang ada semacam disclaimer dengan customernya, jelas pihak ISP telah memperkirakan kemungkinan adanya content situs yang di-hosting di server-nya yang melanggar hak cipta. Screening atas isi content secara teknis memang dapat dilakukan.

Namun seiring dengan perkembangan bisnis yang semakin besar, tentunya biaya dan sumber daya yang dibutuhkan akan semakin besar. Selain itu, juga waktu yang cukup lama dan secara bisnis justru akan memeratkan. Kerjasama dengan pemilik karya cipta yang sangat umum dibajak mungkin salah satu alternatif yang bagus. Contohnya saja Microsoft, yang memiliki sistem tersendiri untuk melakukan scanning atas material/content di internet yang melanggar hak cipta atas software buatannya. Jika ditemukan pelanggaran hak cipta, biasanya Microsoft akan meminta pihak di mana software bajakan di-posting untuk melakukan tindakan pemutusan atas service tersebut dan menghapus material tersebut dari server. Tiap harinya, konon Microsoft menemukan ribuan situs yang memuat software bajakan milik perusahaannya.

Contoh lainnya adalah lagu-lagu atau musik dengan format MP3. Coba saja Anda mencari lagu-lagu MP3 gratis di internet. Anda akan menemui beberapa broken link saat men-download lagu tersebut. Hal ini menandakan pihak web hosting telah menghapus lagu tersebut setelah adanya screening ataupun complain dari pemilik hak cipta atas lagu. Jika berhasil men-download, biasanya extension dari file MP3 harus diubah kembali ke MP3. Pengubahan extension file ini biasanya untuk mengecoh screening yang dilakukan oleh ISP ataupun jasa web hosting atas content situs-situs di server milik mereka. Mungkin pengaturan dalam Digital Millenium Copyright Act (DMCA) milik Amerika Serikat dapat dijadikan pelajaran yang baik. DMCA memberikan
pembatasan masalah tanggung jawab ISP, dan penentuan kapan ISP bertanggung jawab atas materil yang di-hosting di server-nya atau sebaliknya, bilamana ia tidak bertanggung jawab.

Aspek hukum linking

Permasalahan hukum timbul karena content halaman web merupakan suatu karya cipta manusia yang mengandung beberapa komponen ciptaan, baik itu program komputer, lagu, seni rupa dalam segala bentuknya, fotografi dan sebagainya. Berbagai ciptaan ini menurut ketentuan pasal 11 (1) UU No 12 Tahun 1997 tentang Hak Cipta merupakan ciptaan yang dilindungi. Sebagai suatu ciptaan yang dilindungi, pengumuman ataupun perbanyakan ciptaan tersebut tentunya haruslah seizin pencipta atau pemegang hak ciptanya. Pembuatan linking saja tidaklah melanggar hak cipta. Namun jika kemudian halaman web yang dituju oleh link tersebut berisi content yang melanggar hak cipta, tentunya linking semacam ini memberikan kontribusi tersendiri bagi pelanggaran hak cipta. Contoh yang menarik adalah berbagai situs penyedia file-file lagu dengan format MP3 yang halaman web-nya yang memberikan link-link ke situs penyedia file lagu-lagu ataupun musik dalam format MP3. Situs-situs ini seharusnya patut diduga melanggar hak cipta. Permasalahan lainnya dengan linking adalah kemungkinan pelanggaran merek dagang menimbulkan suatu dilusi. Akibatnya, value suatu merek dagang, khususnya famous and wellknown marks, akan menurun.

Teknologi web telah memungkinkan seorang webmaster dengan mudah menampilkan suatu merek dagang di halaman web-nya. Apakah itu berupa plain text, gambar, maupun karakter, serta kombinasi warna yang merupakan simbol merek dagang suatu produk ataupun jasa yang ada. Pelanggaran merek dagang dan dilusinya terjadi karena besar kemungkinan pencantuman merek dagang ini akan menimbulkan persepsi bahwa suatu situs memiliki hubungan atau afiliasi dengan pemilik merek dagang yang ditampilkan. Padahal sesuai ketentuan pasal 3 UU No 19 Tahun 1992, negara memberikan hak kepada pemilik merek untuk menggunakan sendiri merek tersebut atau memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya. Selain persepsi yang timbul tersebut karena adanya penggunaan metatagging dalam pembuatan situs, ada pula kemungkinan penjelajah internet tertipu karena dibawa ke halaman web yang justru tidak memiliki keterkaitan sama sekali dengan merek dagang yang digunakan dalam metatagging.

Deep linking dan inlining

Perkembangan linking lebih lanjut berupa deep linking. Pengguna internet dapat mengunjungi suatu halaman dalam suatu situs tanpa melewati halaman depan (homepage). Hal ini telah menimbulkan berbagai permasalahan tersendiri bagi kalangan ­e-business. Pasalnya, homepage bypassing seperti ini telah mengakibatkan hit rate situs menurun karena memang sering perhitungannya didasarkan atas jumlah pengunjung yang membuka halaman depan (homepage) situs.

Penurunan hit rate pada suatu situs sama dengan penurunan nilai situs. Pasalnya, akan mengakibatkan pihak sponsor tidak tertarik untuk memasang banner produknya di atau homepage yang sering di-bypass. Selain itu, sama dengan penggunaan merek sebagai link, ada kemungkinan pengunjung situs menganggap situs yang memberikan link tersebut memiliki hubungan tetentu dengan situs yang dituju.

Bentuk linking nonkonvensional lainnya adalah inlining. Bentuk ini memungkinkan webmasters secara otomatis menampilkan suatu graphic file, entah itu foto, kartun ataupun gambar lain dalam bentuk digital dalam webpage-nya yang berasal dari situs lain tanpa perlu memuatnya dalam situs yang dibuatnya. Permasalahan pada inlining ini adalah gambar (graphic file) yang berasal dari situs lain tersebut dapat di-customized sedemikian rupa, sehingga tampilan yang diperoleh bisa saja berbeda dengan tampilan gambar pada situs asalnya.
Bila hal ini terjadi, maka jelas ada suatu modifikasi pada suatu karya cipta, yang tentunya melanggar hak si pencipta, baik itu hak atas pencipta atas karya turunan dari karya aslinya maupun hak moralnya atas karya cipta tersebut.

Aspek hukum framing
Teknik pembuatan situs lainnya adalah framing, di mana dengan penggunaan suatu frame, memungkinkan webmaster dapat menampilkan isi suatu situs lainnya tanpa meninggalkan situs yang memberikan frame tersebut. Jadi seperti halnya frame pada foto-foto kita, frame tersebut akan selalu kita lihat saat memandang foto yang ada di dalamnya. Contoh lainnya mungkin mirip dengan fasilitas "picture in picture" pada beberapa merek televisi yang dapat menampilkan channel lainnya (dalam bentuk gambar yang lebih kecil) tanpa meninggalkan channel tv yang sedang kita tonton. Contoh nyata situs yang sering menggunakan frame adalah web penyedia MP3. Pengunjung dapat melihat isi situs penyedia file MP3, sementara itu bagian dari situs tersebut tetap ada.

Mendompleng nama
Dalam beberapa kasus yang timbul berkaitan dengan framing ini, gugatan didasarkan pada beberapa hal. Pertama, framing dapat mengakibatkan perubahan penampilan suatu situs daripada yang seharusnya terlihat jika pengunjung langsung mengetikkan URL yang dituju. Dengan adanya framing memang harus diakui, alokasi tampilan di monitor komputer atas suatu situs berkurang karena adanya frame tersebut. Hal kedua yang menjadi dasar gugatan yakni pelanggaran merek dagang dengan menampilkan suatu merek tanpa adanya hak untuk itu. Dasar gugatan selanjutnya adalah situs yang memberikan frame dianggap telah mendompleng nama dan keberhasilan situs lain serta mengambil manfaat ekonomi, berupa hit rate, dari situs yang di-frame.

Dasar keempat dari gugatan adalah berkurangnya nilai ekonomis situs yang di-frame karena framing mengakibatkan banner ataupun iklan sponsor yang seharusnya tampak jika situs di-view secara langsung, justru tertimpa/tertutup oleh situs yang memberi frame. Dasar gugatan selanjutnya adalah seringkali framing menyebabkan pengunjung situs tidak tahu nama situs yang sedang ditampilkan isinya tersebut. Akibatnya, pengunjung tidak dapat mem-bookmark-nya atau bahkan mengira situs yang di-frame justru merupakan bagian dari situs yang member frame.

Selain itu, dari sisi hak cipta sendiri, perlu dikaji ulang apakah maksud dari pengumuman dan perbanyakan sesuai dengan ketentuan pasal 1 UU No 12 Tahun 1997 tentang Hak Cipta serta keterkaitannya dengan pemberian izin untuk kedua hal tersebut dalam konteks media internet.

Kajian ulang atas beberapa pengertian dalam hak cipta harus dilakukan dengan memperhatikan beberapa proses dan teknik di mana web itu sendiri berjalan. Misalnya apakah framing dapat dianggap merupakan kegiatan memperbanyak atau menambah jumlah suatu ciptaan. Permasalahan lainnya, apakah suatu media yang melakukan fiksasi atas karya cipta itu mempengaruhi pengertian perbanyakan. Hal ini patut dipertanyakan karena, saat melakukan surfing di internet, halaman web yang ditampilkan sebenarnya telah di-copy ke dalam memori komputer. Posting suatu web page dapat dianggap suatu tindakan yang sesuai dengan pengertian pengumuman atas hak cipta sebagaimana diatur dalam pasal 1 angka 4 UU No 12 Tahun 1997. Pasal ini menyatakan bahwa pengumuman meliputi pembacaan, penyuaraan, penyiaran atau penyebaran suatu ciptaan, dengan menggunakan alat apapun dan dengan cara sedemikian rupa sehingga suatu ciptaan dapat dibaca, didengar atau dilihat oleh orang lain. Dengan kata lain, pengumuman akan menyebabkan suatu ciptaan dapat diterima oleh indera manusia. Dalam konteks web, hal itu dapat berupa gambar, teks dan suara.

Lalu apakah proses framing sendiri merupa
kan suatu bentuk perbanyakan? Dalam prosesnya, situs yang menggunakan framing tidaklah melakukan perbanyakan suatu ciptaan, dalam hal ini isi web page yang di-frame. Hal ini dikarenakan, saat pengunjung situs mengklik link situs target, server di mana situs target di-hosting akan mengcopy web page yang diminta. Setelah itu, mengirimkannya ke terminal/komputer si pengunjung yang kemudian menampilkan web page yang dikirim tersebut.

Berarti, perbanyakan justru terjadi antara server situs yang di-link dengan komputer pengunjung situs. Ada pendapat yang mengemukakan, karena situs yang mem-frame tidak melakukan proses transfer ini, maka situs ini tidaklah melakukan perbanyakan. Akibatnya, tidak ada pelanggaran hak cipta yang terj di secara langsung. Pendapat ini diperkuat oleh argument lainnya yang mengemukakan bahwa saat seseorang membuat suatu halaman web dan mem-posting-nya di internet, si pemilik halaman web tersebut secara tidak langsung telah memberikan izin perbanyakan hak ciptanya itu. Tujuannya, untuk keperluan menampilkannya di dalam internet browser seperti Netscape ataupun Internet Explorer.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

C L O N I N G I

Prof.Dr.Ir.Herry Sonjaya, DEA  Kenapa harus clone? Alasannya adalah untuk menghasilkan menghasilkan organism dengan kualitas yang diinginkan, hewan rekayasa genetik, Replacing lost or deceased family pets, repopulasi terancam punah atau bahkan spesies punah. METHOD OF SPERM MEDIATED GENE TRANSFER Ø   Interaksi gen eksogenous terjadi tidak secara acak. Ø    Dapat dikerjakan untuk semua jenis ternak yang  menggunakan sperm sebagai alat untuk    bereproduksi. Ø    Sangat sederhana. Reproductive human cloning will help: • Infertile couples: we have received many requests from  infertile couples who cannot have children even after years of infertility treatments. For those people cloning is the only way to have a child of their own genetic offspring. • Homosexuals: they cannot have a child today that is 100% related to them genetically but human cloning will provide this possibility for them. • Families who lost a beloved relative: human cloning can give life a

Peletakan Batu Pertama Kampus Institut Teknologi Pertanian di Takalar

Peletakan batu pertama pembangunan kampus Institut Teknologi Pertanian di Desa Tamasaju, Kecamatan Galesong Utara, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan. Jumat (19/3/2021). Institut Pertanian Bogor (IPB) resmi menjalin kerjasama dengan Institut Teknologi Pertanian (ITP) Yayasan Global Panrita Takalar. Kerjasama terjalin melalui nota kesepahaman antara Rektor IPB Prof. Dr. Arif Satria, dengan Rektor ITP Dr. Hj. Irma Andriani, tentang pendidikan, pelatihan, dan pengabdian kepada masyarakat. Penandatanganan ini dilaksanakan di sela-sela kunjungan Rektor IPB ke Takalar untuk memberikan kuliah umum sekaligus peletakan batu pertama pembangunan kampus ITP. Dr. Irma Andriani berharap, di bawah bimbingan IPB, di masa depan ITP dapat menjadi kampus yang cepat maju dan berkembang. "Universitas terbaik di Asia Tenggara, hari ini mengunjungi kita dan ingin membina ITP. Apresiasi yang sebesar-besarnya atas atensi pak Rektor dan seluruh jajaran yang bersedia membimbing ITP yang notabenenya merup

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP LISENSI HAK CIPTA DI BIDANG MUSIK DAN LAGU DI INDONESIA

Sejak lama pembajakan terhadap musik dan lagu telah menjadi fenomena sosial di Indonesia. Pembajakan lagu dilakukan dengan menggunakan berbagai media, seperti kaset, CD (Compaq Disk), VCD (Video Compaq Disk), dan lain-lain. Dengan adanya pembajakan ini kaset-kaset, CD, dan VCD bajakan membanjiri pasaran dengan harga yang jauh lebih murah daripada harga kaset, CD, dan VCD aslinya. Hal ini dapat terjadi karena kaset, CD, dan VCD bajakan itu hanya diproduksi tanpa membayar pajak, sehingga harga jualnya dapat jauh lebih murah. Di lain pihak, konsumen musik dan lagu di Indonesia tentu saja lebih menyukai membeli kaset, CD, dan VCD bajakan itu karena kualitasnya lebih kurang sama dengan yang asli sedangkan harganya jauh lebih murah.